Tunggu apa Lagi Buruan Cepat

Bisnis Online

Lencana Facebook

Game Online Libertyreserve

HeadTail

Head and Tail WIN

Data ini merupakan data real yang muncul di HeadTail

Tgl Ganjil

Tgl Genap

WIN BET

No

Win

No.

Win

Percent (%)

WIN

51 Tail 56 Tail

90

Tail
31 Tail 15 Head

10

Min BET
29 Tail 14 Tail

90

Tail
45 Head 15 Head

90

Head
45 Head 46 Head

90

Head
53 Tail 42 Head

10

Min BET
39 Tail 55 Tail

90

Tail
50 Head 27 Head

90

Head
55 Tail 57 Head

10

Min BET
01 Tail 58 Head

10

Min BET
29 Tail 57 Head

10

Min BET
10 Tail 04 Tail

90

Tail
22 Tail 30 Head

10

Min BET
45 Head 55 Tail

10

Min BET
40 Tail 21 Head

10

Min BET
45 Head 36 Head

90

Head
46 Head 54 Head

90

Head
17 Tail 38 Head

10

Min BET
02 Head 29 Tail

10

Min BET
48 Tail 24 Head

10

Min BET
32 Head 59 Tail

10

Min BET
23 Tail 01 Tail

90

Tail
22 Tail 27 Head

10

Min BET
36 Head 31 Tail

10

Min BET
24 Head 11 Head

90

Head
36 Head 07 Tail

10

Min BET
59 Tail 59 Tail

100

Tail
26 Tail 57 Head

10

Min BET
11 Tail 03 Head

10

Min BET
19 Head 27 Head

90

Head
23 Tail 57 Head

10

Min BET
59 Tail 00 Head

10

Min BET
14 Tail 34 Head

10

Min BET
03 Tail 30 Head

10

Min BET
56 Tail 25 Tail

90

Tail
40 Tail 48 Tail

90

Tail
16 Tail 42 Head

10

Min BET
48 Tail 52 Tail

90

Tail
24 Head 34 Head

90

Head
33 Tail 57 Head

10

Min BET
21 Head 4 Tail

10

Min BET
16 Tail 49 Tail

90

Tail
18 Head 13 Tail

10

Min BET
07 Tail 02 Head

10

Min BET
22 Tail 58 Head

10

Min BET
43 Tail 13 Tail

10

Tail
09 Head 34 Head

90

Head
01 Tail 48 Tail

90

Tail
01 Tail 22 Tail

90

Tail
46 Head 03 Tail

10

Min BET
02 Head 23 Tail

10

Min BET
25 Tail 38 Head

10

Min BET
10 Tail 56 Tail

90

Tail
42 Head 29 Tail

10

Min BET
06 Head 00 Head

90

Head
36 Head 51 Tail

10

Min BET
08 Tail 18 Head

10

Min BET

Win

Tail

Win

Head

Spl 35 x Spl 31 x
JLH 51,20% Jlh 48,80%
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada tanggal ganjil maka peluang yang paling besar muncul Tail dan pada tanggal genap peluang muncul Head sangat besar, Cara memainkan game ini tidak perlu mendaftar karena game ini jika anda BET dengan benar langsung akan membayar ke Liberty Reserve anda. Cara Memainkan :
  • Anda harus perhatikan di HISTORY nya apa tanggal ganjil atau genap
  • Buka 2 buah lembar dimana yang satu untuk melihat HISTORI dan yang kedua untuk BET
  • Misalkan hari ini adalah tanggal ganjil, HISTORY BET muncul angka 51 maka kemungkinan Muncul berikutnya Tail (record pertama yang direkom oleh Paul Rodrigo dan tidak ada hubungan dengan moneyvestasi)
  • Jika hari ini tanggal ganjil, namun kedua data menampilkan data yang sama, maka pilih data yang berlawanan tanggal.
  • Jangan lupa Refresh halaman HISTORY untuk melihat data UPDATE agar prediksinya tepat
  • Dosa dari permainan ini tanggung sendiri
  • Record tersebut telah dihitung dengan rumus Randomly Agregat selama 7 bulan dengan tingkat keakuratan 95%
  • Moneyvestasi tidak bertanggungjawab terhadap WIN atau LOSE yang anda derita dalam game ini, karena Iklan ini dibayar oleh mereka $1300
  • Jangan BET kalau gak sanggup tahan RESIKO (DISCLAMER)
  • Iklan ini dipasang oleh PAUL RODRIGO asal Mexico

MY Slide

Jumat, 28 Desember 2007

Aneuk Meutui

Aneuk Meutui

http://www.astalavista.com/feed/directory_latest.xml

Minggu, 26 Agustus 2007

New Music

paul02583.multiply.com

Senin, 20 Agustus 2007

Syariat Ketat di Serambi yang Terbuka?

Pascatsunami Aceh telah menjadi kota internasional. Ribuan relawan kemanusiaan, pekerja organisasi nonpemerintah, maupun staf sejumlah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa berdatangan ke Aceh.

Yang dikhawatirkan pun terjadi, nilai yang terbawa dalam internasionalisasi itu berbenturan dengan sendi syariat Islam yang menjadi salah satu keistimewaan ”Serambi Mekkah” ini. Yang datang membawa bantuan dinilai turut membawa pengaruh buruk terhadap masyarakat Aceh.

Salah satu kasus terakhir terjadi akhir Juli lalu, ketika Guesseppe Baluschii (30), warga Italia yang bekerja di salah satu lembaga internasional, ditangkap oleh polisi syariah Islam wilayah Bireuen. Guesseppe kedapatan tengah berhubungan intim dengan War (27), perempuan dari Pidie. Sang perempuan dijerat dengan kanun (peraturan daerah) mengenai syariat Islam, sementara Guesseppe yang non-Muslim tidak. Kalaupun Guesseppe diproses lanjut, itu terjadi karena yang bersangkutan membawa ganja dan untuknya berlaku ketentuan hukum umum. Secara sosiologis, ada yang menilai tidak adil jika pelanggaran yang dilakukan bersama-sama tidak diadili di lembaga peradilan yang sama.

Apa pun, terungkapnya perbuatan mesum itu sontak menimbulkan kehebohan. Khotbah-khotbah Jumat di sejumlah masjid berisi kecaman atas keberadaan Guesseppe yang dituding merusak perempuan Aceh. War, yang pernah belajar di pesantren, mengakui bahwa perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka.

Fenomena itu menunjukkan, pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar kanun syariat Islam secara terbuka di hadapan masyarakat ternyata tidak cukup membuat jera. Bahkan, kasus pemerkosaan juga banyak ditemui di Aceh. Tidak mengherankan jika Syarifah Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan Indonesia menilai syariat Islam di Aceh belum efektif melindungi pemerkosaan yang marak di Aceh akhir-akhir ini. Aktivis perempuan ini khawatir bahwa suatu saat masyarakat tak malu lagi dengan hukuman cambuk sehingga hukuman ini tak memberi efek jera.

”Kita harus berbesar hati, proses penerapan syariat Islam di Aceh harus dikaji ulang,” kata Syarifah.

Usul Syarifah tentu bukan hal yang mudah. Keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya bukan hal yang baru kemarin sore diperjuangkan. Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, perwalian, nafkah, pengasuhan anak, dan harta bersama), mu’amalah (masalah tata cara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan kanun (peraturan daerah).

Keragaman

Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain juga dijamin untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Islam memang agama mayoritas di Aceh, tetapi Aceh pun memiliki keragaman agama. Misalnya, di daerah Aceh Tenggara yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara syariat Islam ini sulit diterapkan. Keragaman itu pula yang menjadi dasar perdebatan alot saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh.

Aceh yang beragam, Aceh yang semakin terbuka tentu membawa konsekuensi tersendiri. Pelaksanaan syariat Islam rawan menimbulkan gesekan atau bahkan bakal meminggirkan keragaman. Bisa-bisa akan muncul citra Aceh sebagai daerah tertutup. Stan McGahey, konsultan pariwisata dari USAID untuk pemulihan Aceh, mengatakan, potensi wisata Aceh yang luar biasa, terutama Sabang, bisa menjadi tidak tergarap jika syariat Islam dibenturkan dengan kepariwisataan.

Oleh karena itu, McGahey mengusulkan dibuatnya zona khusus di Sabang. Alternatif lain adalah Aceh harus mengembangkan wisata khusus mengingat adanya syariat Islam. Tsunami bisa menjadi potensi wisata alternatif. Banyak wisatawan yang tertarik untuk melihat bekas tsunami dan melihat proses rekonstruksi. ”Aceh sebaiknya tidak hanya mengembangkan wisata yang mengandalkan Sabang saja,” kata McGahey.

UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat kanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Bahkan khusus untuk pidana (jinayah), sanksi yang diatur dalam kanun boleh berbeda dengan batasan untuk peraturan daerah umum lainnya. Selain itu, ada ketentuan bahwa kanun syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.

Yang juga kerap terlontar di permukaan, kanun syariat Islam belum banyak yang mengatur permasalahan riil yang menyangkut masyarakat banyak. Kanun yang paling ”populer” masih berkutat soal judi, minuman keras, dan khalwat. Permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, seperti korupsi, tidak pernah terjangkau oleh ketentuan syariat. Lumrah jika kemudian sebagian kalangan menilai dengan sebelah mata atas pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Jadi memang masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Penerapan syariat Islam di Aceh dibebani tuntutan untuk benar-benar menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang penerapannya membuahkan kehidupan ekonomi-sosial yang lebih baik. Harus pula terlihat bahwa pemberlakuan syariat Islam bukan hal yang kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya karena kini ”Serambi Mekkah” menjadi tempat yang makin terbuka. (Ahmad Arif/Sidik Pramono)

Aceh Baru yang Ditunggu

"Merdeka itu, ya, kalau harga kopi satu bambu sudah di atas Rp 5.000." Ucapan itu spontan terlontar dari Ibnu Hajar (56), warga Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam.

Bapak delapan anak berperawakan pendek berkulit kelam dengan jambang yang dibiarkan tumbuh tidak beraturan itu mengucapkannya dengan ringan sembari terkekeh.

Bumi ujung utara Sumatera itu memang daerah penuh pergolakan. Pada masa penjajahan, rakyat Aceh mesti berhadapan dengan bangsa asing yang ingin berkuasa di bumi Serambi Mekkah. Merdeka bersama Indonesia, babakan baru dari presiden ke presiden, persoalan Aceh datang silih berganti.

Pada periode awal, rakyat Aceh memberontak menuntut otonomi dengan pembentukan Provinsi Aceh. Persoalan ketidakadilan menjadi pemicu bagi Hasan Tiro tatkala memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. Selanjutnya adalah babakan panjang penuh cerita berdarah. Operasi militer dan pemberlakuan keadaan darurat membekap rakyat Aceh dalam ketidaknyamanan. Sejumlah perundingan dan kesepakatan rusak sebelum sampai pada perdamaian hakiki. Konflik terus berlanjut, nyaris seperti tidak berkesudahan.

Sampailah kemudian bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh. Kebutuhan untuk bangkit merehabilitasi dan merekonstruksi diri tidak mungkin berjalan tanpa ada perdamaian. Dalam rentang Januari-Juli 2005 dilakukan pertemuan antara wakil Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia. Puncaknya, pada 15 Agustus 2005, Hamid Awaludin (wakil pemerintah) dan Malik Mahmud (GAM) menandatangani naskah nota kesepahaman.

Waktu berjalan, satu demi satu klausul dalam nota kesepahaman dijalankan. Senjata pasukan GAM dimusnahkan, berlanjut dengan penarikan pasukan TNI/Polri nonorganik dari Aceh. Agenda berikutnya yang sudah terselesaikan adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Sekalipun masih ada yang memperdebatkan, keluasan kewenangan dan porsi pembagian keuangan lebih besar untuk Aceh sudah termuat dalam undang-undang itu. Aceh kini punya payung hukum untuk lebih memajukan diri.

Selasa nanti, 15 Agustus 2006, genap setahun usia Nota Kesepahaman Helsinki yang menjadi tonggak perdamaian di Aceh. Sejumlah acara untuk memperingatinya sudah disiapkan. Di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, mulai 7 Agustus silam digelar pekan seni dan budaya. Pada 15 Agustus nanti panggung pergelaran seni "Aneuk Nanggroe" sudah disiapkan di bibir pantai Ulee Lheue, antara lain untuk menampung penampilan 400 penari.

Pada peringatan Setahun Damai Aceh juga akan dilakukan upacara adat peseujeuk (tepung tawar) sebagai bentuk penghargaan terhadap tokoh kunci perdamaian Aceh, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden Finlandia yang kini Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative (CMI) Martti Ahtisaari, dan unsur pimpinan GAM Malik Mahmud.

Pelajaran dari Aceh menginspirasikan banyak hal kepada Indonesia secara keseluruhan. Kini, ketika perdamaian mulai terasakan, ada pengharapan yang menghadapi masa ujian. Dalam bahasa sederhana rakyat biasa, "merdeka" itu mesti lebih sejahtera.

Setahun terakhir menjadi saat harapan ditumbuhkan. Ke depan, Aceh Baru masih harus ditunggu....

Jika Aceh Menjadi Tiga

Jika Aceh Menjadi Tiga

oleh Sidik Pramono dan Ahmad Arif

Ketua DPRD Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tagore Abubakar terlihat gusar.

Kepada wakil elemen mahasiswa Arbie Misra, Tagore mengingatkan rekomendasi pemboikotan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang disampaikan elemen mahasiswa Aceh Leuser Antara adalah hal yang riskan dan bisa-bisa kontraproduktif terhadap niatan memekarkan diri.

Dalam penyampaian rekomendasi hasil Silaturahmi dan Temu Akbar Masyarakat Aceh Leuser Antara (ALA) se-Indonesia pada Minggu (6/8) sore, selain mendesak percepatan pengesahan RUU Pembentukan ALA, elemen mahasiswa juga menyerukan boikot atas pelaksanaan pilkada Aceh.

Mahasiswa merekomendasikan adanya mogok kerja struktural birokrasi pemerintahan di lima kabupaten ALA secara serentak. Langkah itu merupakan bentuk pembangkangan sipil atas pengabaian aspirasi masyarakat ALA untuk membentuk provinsinya sendiri. Pertemuan raya di Gedung Olah Seni Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, sepanjang 4-6 Agustus lalu itu memang hanya merupakan penegasan atas keinginan untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi ALA.

Usul lama

Aspirasi pembentukan Provinsi ALA sebenarnya sudah mulai muncul pada 1999 dan telah menjadi RUU inisiatif DPR pada 28 September 2004. Namun, proses berikutnya mentok, salah satunya karena belum terpenuhinya syarat administratif berupa surat usulan Gubernur dan persetujuan DPRD Aceh. Padahal sejumlah syarat penting sudah terpenuhi— termasuk di antaranya surat keputusan persetujuan dari DPRD kabupaten dan usulan dari bupati di wilayah calon provinsi baru itu.

Ketika persoalan ALA belum tuntas, muncul kemudian aspirasi dari elemen masyarakat Aceh untuk membentuk Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) terpisah dari Aceh. Yang berencana tergabung dalam provinsi baru ini ada enam kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeuleu, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, dan Nagan Raya. Alasan yang diusung nyaris sama, wilayah mereka lebih kerap dilupakan oleh Banda Aceh sebagai ”pusat”.

Sekalipun aspirasi ini muncul belakangan, namun elemen masyarakat Abas berharap agar peresmian provinsi baru tersebut bisa dilaksanakan berbarengan dengan peresmian pembentukan ALA. Keduanya kemudian membentuk Forum Bersama Komite Pembentukan Provinsi ALA dan Abas. Bertempat di Jakarta, elemen masyarakat ALA dan Abas mendeklarasikan berdirinya kedua provinsi baru itu pada 4 Desember 2005.

Kekhawatiran usul tersebut bakal mentok sempat mencuat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Draf usul DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dianggap tidak mengakomodasi—bahkan terkesan menafikan—pembentukan provinsi baru. Namun, elemen ALA dan Abas menilai ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh tidak menutup aspirasi pembentukan daerah otonom baru di Aceh.

Mengenai komplikasi pemberlakuan otonomi luas untuk Aceh, sebagaimana terjadi dengan Papua lewat pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Tagore menyatakan bahwa hal serupa tidak akan terjadi di Aceh. Kalaupun ALA jadi terbentuk, tidak masalah jika keistimewaan Aceh, seperti dana tambahan, tidak diberikan kepada mereka. Potensi yang dimiliki ALA dengan pengelolaan secara baik diyakini sudah mencukupi untuk membangun wilayah mereka.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Raihan Iskandar (Partai Keadilan Sejahtera) menilai usul pembentukan provinsi ALA (ataupun Abas) tidak perlu diperdebatkan, setelah UU Nomor 11 Tahun 2006 disahkan dan (relatif) bisa diterima semua pihak. Klausul pembentukan provinsi baru (yang bisa diartikan berarti penghapusan kabupaten/kota bersangkutan dari Aceh) sudah termuat dalam undang-undang tersebut.

Kalaupun persetujuan DPRD Aceh yang dipersoalkan, mestinya hal itu bisa diatasi apabila anggota DPRD dari daerah pemilihan yang masuk dalam wilayah ALA dan Abas mengajukan inisiatif pembentukan Panitia Khusus DPRD untuk membahas aspirasi pembentukan provinsi baru itu.

Namun, Raihan juga menyebutkan bahwa soal keistimewaan berikut hak khusus sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 hanya melekat pada Aceh ”induk”. Hal itu mestinya juga dijadikan pertimbangan dalam usul pembentukan provinsi baru tersebut.

”Harus dihitung dulu maslahat dan mudaratnya, jadi bisa dihitung kapan waktu yang tepat untuk bicara,” ujar Raihan.

Sementara menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III), DPR (dan juga pemerintah) tentunya tidak akan menghalangi aspirasi masyarakat untuk membentuk daerah otonom sendiri. Sepanjang seluruh persyaratan administratifnya terpenuhi, aspirasi itu tentu akan diproses ke tahap lebih lanjut.

Akan tetapi, khusus untuk Aceh tentu saja mesti ada pertimbangan khusus. Sejauh mungkin ide pemekaran itu tidak bertabrakan dengan semangat perdamaian yang mulai tercipta. Akan mahal ongkos sosial-politiknya jika sampai wacana pemekaran tersebut justru memecahkan kembali perdamaian yang mulai dirasakan rakyat Aceh.

Namun, Sayuti memahami kendala yang dihadapi warga di wilayah ALA dan Abas dalam hal pelayanan publik. Pelayanan pusat pemerintahan di Banda Aceh terkendala jarak dan kondisi geografis untuk menjangkaunya. Jika soalnya adalah perbaikan pelayanan terhadap masyarakat, terlepas jadi-tidaknya pemekaran itu dilakukan, hal tersebut harus menjadi fokus perhatian seluruh pihak.

Kontradiksi?

Pemekaran bukanlah hal yang sama sekali ditabukan di Aceh. Justru Aceh termasuk daerah yang cepat ”beranak-pinak” dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal itu terlihat dari jumlah kabupaten/kota yang pertambahannya signifikan sejak era reformasi. Sebelum 1999 Aceh hanya terdiri atas 10 kabupaten/kota. Namun, sampai saat ini, jumlahnya meningkat menjadi 21 kabupaten/kota. Terakhir, RUU pembentukan dua calon daerah otonom baru—Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam—sudah akan resmi diajukan sebagai inisiatif DPR untuk dibahas bersama pemerintah.

Salah satu alasan menonjol yang kerap dikemukakan terkait dengan pemekaran itu adalah soal rentang kendali pemerintahan. Wilayah ALA dan Abas kerap dilupakan, tidak ada pembangunan yang optimal dengan wilayah yang terentang dari ujung ke ujung, dengan kondisi geografis perbukitan, jalan darat berkelok-kelok, terasa sulit mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, Takengon bisa dicapai dari Banda Aceh lewat perjalanan darat selama delapan jam. Waktu tempuh yang nyaris sama dibutuhkan dari Banda Aceh ke Meulaboh (Aceh Barat).

”Yang susah, ini karena sudah jauh letaknya, jauh pula di hati,” ujar Tagore.

Harus diakui bahwa pembangunan di lima kabupaten yang tergabung dalam ALA tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Aceh. Singkil, misalnya, lebih menyerupai kota kecamatan dibandingkan kabupaten. Singkil saat ini bahkan terancam tenggelam akibat kondisi daratan yang turun pascagempa Nias tahun lalu. Selain itu, hampir tidak terlihat pembangunan berarti di daerah pedalaman atau pulau luar di Kepulauan Banyak.

Demikian juga dengan Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Kekayaan alamnya tak mampu membuatnya berkembang. Posisinya yang berada di tengah dataran tinggi Gayo susah diakses. Kesulitan transportasi pula yang membuat daerah pedalaman, seperti Pinning dan Trangon, terisolasi. Hal hampir serupa terjadi di Bener Meriah.

Praktis hanya Aceh Tengah dan Aceh Tenggara yang kondisinya lumayan maju. Namun, di daerah pedalaman, seperti Pameung, Aceh Tengah, kondisinya tidak kalah mengenaskan. Kedua daerah ini juga memiliki ketergantungan tinggi dengan daerah tetangga. Aceh Tengah tergantung pada Bireuen dan Aceh Tenggara pada Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Aksi boikot terhadap Aceh Tengah pada saat konflik menyebabkan daerah ini lumpuh.

Saat Kompas melintasi jalanan di Aceh Tengah maupun Bener Meriah pada awal Agustus, poster dan stiker dukungan pembentukan Provinsi ALA begitu mudah dijumpai di rumah penduduk. Spanduk besar dengan nada serupa pun begitu mencolok di pinggiran jalanan. Apakah artinya dukungan begitu meluas?

Apa pun, patut juga disimak tuturan Hj Saimah (70), warga Takengon. Baginya, pemekaran atau bukan adalah urusan pimpinan. Yang terpenting bagi masyarakat adalah adanya jaminan keamanan dan kesempatan lebih luas untuk meraih kesejahteraan.

Jadi, kalau Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimekarkan menjadi tiga, apa jadinya? Lebih maju atau makin berantakan? Siapa yang bisa menduga?

Rabu, 15 Agustus 2007

ACEH NEWS: Muhammad adalah Nabi umat Hindu

ACEH NEWS: Muhammad adalah Nabi umat Hindu

Muhammad adalah Nabi umat Hindu

New Delhi, India
Seorang professor bahasa dari ALAHABAD UNIVERSITY INDIA dalam salah satu buku terakhirnya berjudul "KALKY AUTAR" (Petunjuk Yang Maha Agung) yang baru diterbitkan memuat sebuah pernyataan yang sangat mengagetkan kalangan intelektual Hindu.
Sang professor secara terbuka dan dengan alasan-alasan ilmiah, mengajak para penganut Hindu untuk segera memeluk agama Islam dan sekaligus mengimani risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw, karena menurutnya, sebenarnya Muhammad Rasulullah saw adalah sosok yang dinanti-nantikan sebagai sosok pembaharu spiritual.
Prof. WAID BARKASH (penulis buku) yang masih berstatus pendeta besar kaum Brahmana mengatakan bahwa ia telah menyerahkan hasil kajiannya kepada delapan pendeta besar kaum Hindu dan mereka semuanya menyetujui kesimpulan dan ajakan yang telah dinyatakan di dalam buku. Semua kriteria yang disebutkan dalam buku suci kaum Hindu (Wedha) tentang ciri-ciri "KALKY AUTAR" sama persis dengan ciri-ciri yang dimiliki oleh Rasulullah Saw.
Dalam ajaran Hindu disebutkan mengenai ciri KALKY AUTAR diantaranya, bahwa dia akan dilahirkan di jazirah, bapaknya bernama SYANUYIHKAT dan ibunya bernama SUMANEB. Dalam bahasa sansekerta kata SYANUYIHKAT adalah paduan dua kata yaitu SYANU artinya ALLAH sedangkan YAHKAT artinya anak laki atau hamba yang dalam bahasa Arab disebut ABDUN.
Dengan demikian kata SYANUYIHKAT artinya "ABDULLAH". Demikian juga kata SUMANEB yang dalam bahasa sansekerta artinya AMANA atau AMAAN yang terjemahan bahasa Arabnya "AMINAH". Sementara semua orang tahu bahwa nama bapak Rasulullah Saw adalah ABDULLAH dan nama ibunya MINAH.
Dalam kitab Wedha juga disebutkan bahwa Tuhan akan mengirim utusan-Nya kedalam sebiuah goa untuk mengajarkan KALKY AUTAR (Petunjuk Yang Maha Agung). Cerita yang disebut dalam kitab Wedha ini mengingatkan akan kejadian di Gua Hira saat Rasulullah didatangi malaikat Jibril untuk mengajarkan kepadanya wahyu tentang Islam.
Bukti lain yang dikemukakan oleh Prof Barkash bahwa kitab Wedha juga menceritakan bahwa Tuhan akan memberikan Kalky Autar seekor kuda yang larinya sangat cepat yang membawa kalky Autar mengelilingi tujuh lapis langit. Ini merupakan isyarat langsung kejadian Isra' Mi'raj dimana Rasullah mengendarai Buroq
Dikutip buletin Aktualita Dunia Islam no 58/II Pekan III/februari

Jumat, 29 Juni 2007

'Hubungan Saya Dengan Swedia Susah'


Sedikit warga mengenal nama Teungku Agam atau Abu Isnandar. Namun, cobalah menyebut nama Irwandi Yusuf. Tak cuma masyarakat di Aceh, Presi­den Susilo Bambang Yudho­yono (SBY) pun mafhum kalau pemilik nama ini adalah peraih suara terba­nyak dalam pemilihan gubernur Aceh 11 Desember lalu. “Teungku Agam” alias “Abu Isnandar” merupakan nama samaran Irwandi pada setiap surat elektronik yang ia kirimkan ke berbagai media cetak kala berperan sebagai Deputi Juru Bicara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena perannya itu, dosen pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, ini dituntut 14 tahun penjara. Ia dicokok karena dite­ngarai menjadi konseptor dan translator GAM.

Tapi, itu semua kisah masa lalu. Kini, setelah mejadi orang nomor satu di provinsi ujung barat Sumatera, bagaimana Irwandi melihat masa depan perdamaian dan pembangunan di Aceh? Benarkah hubungannya dengan GAM generasi tua sedang bermasalah? Desember lalu, bertempat di Markas Komite Peralihan Aceh (KPA)-sayap mantan militer GAM-alumnus Oregon State University Amerika Serikat yang kerap mengunakan kata ‘aku’ kala menyebut dirinya, ini bertutur banyak kepada Idrus Saputra dan Murizal Hamzah dari Aceh Magazine. Simak petikan wawacaranya berikut ini.

Komite Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menetapkan Anda sebagai pemenang dalam Pilkada gubernur Aceh. Anda terkejut dengan hasil ini? Atau sejak awal Anda memang sudah yakin bakal menang?
Sejak awal saya sudah yakin dengan kemenangan ini. Berdasarkan survei perhitungan cepat, saya unggul. Seandainya tidak ada pelarian kotak suara seperti di Aceh Tamiang, (juga) manipulasi suara, suara saya bisa meningkat. Saya yakin sebelum pencoblosan, Pilkada ini hanya satu putaran. Ini semua berkat dukungan masyarakat yang menghendaki perubahan keadaan. Kita berupaya mengadakan perubahan atau paling kurang membuat fundamen perubahan.

Bagaimana Anda akan mewujudkan pemerintahan di Aceh nantinya?
Saya membuat pemerintah yang bersih lebih ke dalam. Membuat kegiatan yang bersifat pelayanan masyarakat, serta perang melawan korupsi. Korupsi ini gampang diberantas, namun selama ini tidak ada political will karena sama-sama bermain. Kalau sekarang sibuk-sibuk dengan qanun (Perda-red) potong tangan, maka ke depan akan ada qanun potong leher.

Termasuk akan ada mutasi dan perubahan besar-besaran?
Tidak ada perubahan pada bulan-bulan pertama. Kita mengamati dulu. Kita tidak merombak, namun membenarkan perencanaan. Ada orang yang tak cocok di suatu tempat, mungkin dia cocok di tempat lain.


Apakah ini menjadi progam 100 hari Anda menjadi gubernur?
Bukan. Tidak cukup 100 hari. Mungkin perlu setahun atau dua tahun. Jangan terpaku pada 100 hari. Kalau aku bisa, kerjakan 30 hari. Kalau tak bisa 30 hari, mungkin butuh 200 hari. Aku tak tahu siapa yang taruh istilah 100 hari. Aku tak setuju. Menyangkut program, ini menyangkut dana. Ketika aku dilantik pada Februari 2007, budget 2006 sudah selesai tapi budget 2007 belum cair.

Anda berangkat dari jalur independen dan tidak diusung oleh partai politik. Anda tak khawatir pemerintahan Anda nantinya menimbulkan resistensi di parlemen?

Aku yakin, teman-teman aku yang duduk di DPRD yang naik melalui jalur partai politik sama tujuannya dengan Irwandi ini; untuk kemakmuran Aceh ke depan. Kawan-kawan di DPR pasti mendukung. Ini untuk kepentingan rakyat Aceh. Bukan untuk kepentingan Irwandi dan Nazar (Muhamad Nazar, wakil gubernur terpilih pasangan Irwandi Yusuf-red). Entahlah kalau saya mengubah pikiran jadi gila atau lupa janji untuk kepentingan diri sendiri, maka hak DPR untuk menghadang saya.

Dalam soal politik, Pemerintah Pusat kelihatannya masih sering curiga pada Aceh. Termasuk beberapa komentar pejabat dan politisi Jakarta dalam menanggapi kemenangan Anda ini. Komentar Anda?


Kita harus mengubah itu. Aceh sesuatu yang berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Banyak orang memprediksi pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Aceh berlangsung rusuh. Tapi apa yang terjadi, apakah ada rusuh? Padahal, jelas-jelas pihak GAM yang dirugikan karena banyak pendukung saya yang tak bisa memilih akibat tidak didaftarkan.


Pilkada Aceh bisa menjadi pendidikan politik bagi republik. Kalau melihat contoh Pilkada, jangan pergi ke Jawa, lihatlah ke Aceh. Aku menang tak sorak-sorak atau berjingkrak-jingkrak. Apakah saya ada pesta atau apakah ada anak buah saya lempar topi ke atas. Saya mohon yang kalah juga menerima kekalahan.


Pemerintah Pusat tentu saja boleh khawatir dengan kemenangan Anda, sebab bukankah Anda dulu memberontak?
Benar saya dulu memberontak untuk menurunkan sesuatu. Sekarang sudah terjadi dan kita berhenti memberontak. Semangat kami penerobos. Rakyat Aceh butuh orang-orang yang berani terobos. Bukan penerobos ilegal.


GAM tak punya kepentingan partai politik karena kami naik dari jalur indepeden. Maka aku tak pakai partai sebab tak bisa terobos. Aceh butuh pemimpin yang berani terobos, apalagi sekarang sudah ada Undang-undang Pemerintah Aceh yang penuh dengan terobosan-terobosan.

Bagaimana soal kekhawatiran pengamat, politisi, dan pejabat Pemerintahan di Jakarta bahwa kepemimpinan Anda dapat membawa Aceh merdeka dan terlepas dari Republik Indonesia (RI)?
Ketika kita bicara MoU, mengapa masih ada orang bicara di luar MoU? Aku tak mau tanggapi. Itu di luar MoU. Apakah ada kata merdeka dalam MoU? Kan tidak ada. Itu hanya paranoid-paranoid yang harus dihilangkan di Jakarta. Jakarta mesti terdidik dengan hal-hal baru di Indonesia.

Ini agak sedikit manusiawi. Anda pernah menjadi buronan Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Iskandar Muda dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Aceh. Ke de-pan akankah ada desiran perasaan tertentu ketika nanti memanggil Pangdam atau Kapolda ke pendopo saat Anda telah menjadi gubernur?
Tidak ada perasaan apapun. Termasuk dengan yang pernah menganiaya aku dulu, sekarang sudah menjadi kawan akrab. Dengan Pangdam Iskandar Muda Supiadin, aku kawan. Dengan Kapolda Aceh Bachrumsyah, aku sering tukar pikiran. Mereka sudah mengirim ucapan selamat kepadaku. Tapi bukan secara resmi.

Banyak yang berkomentar kemenangan Anda lebih karena foto-foto Anda yang mengenakan pakaian adat Aceh dalam atribut-atribut kampanye maupun kertas pencoblosan. Menurut Anda, apakah pakaian adat yang Anda pakai itu memang mempengaruhi pemilih?
Ya, benar. Kami sengaja tampil beda dengan kandidat lain. Sejak deklarasi, baju kebesaran orang Aceh dengan kopiah meuketop sudah kami kenakan. Ini atas saran ulama karena rencana awal kami tidak mengenakan penutup kepala; apalagi kopiah. Alasannya, karena masyarakat tahu kiprah orang-orang pakai kopiah seperti Soekarno; banyak istri dan menipu rakyat Aceh. Soeharto juga pakai kokopiah, tapi apa yang dilakukannya selama 30 tahun di Aceh? Abdullah Puteh, mantan gubernur Aceh, juga pakai piah; tapi koruptor. Karena kami menghormati ulama, kopiah meuketop kami pilih sebagai penutup kepala. Ini untuk memudahkan pemilih dalam memilih.

Masih soal foto. Apakah nanti Anda akan menempatkan foto Hasan Tiro di lingkungan pendopo?
Lihat dulu konteksnya. Kan tidak ada larangan memasang foto tersebut. Karl Marx saja bisa dipasang. Bahkan, bendera Aceh akan ada tahun 2009. Ini tergantung kesepakatan kita; bendera mana yang akan dipakai. Saat ini kita tidak menaikkan bendera GAM karena intepretasi masyarakat berbeda-beda. Apakah dengan naiknya bendera GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur? Kalau masalah partai politik lokal Aceh, ini sesuai dengan MoU Helsinki.

Pascakemenangan Anda, banyak pejabat dan politisi meminta agar GAM dibubarkan. Menurut Anda, siapa sih yang bisa membubarkan GAM?
Ya GAM sendiri. Di MoU tak ada perintah untuk membubarkan GAM. Yang ada, atribut militer GAM dan militernya dibubarkan. Kalau pin yang saya pakai dikatakan atribut militer, itu salah. Pin ini histori kami.

Kabarnya ada keretakan psikologis antara Anda dan kalangan GAM generasi tua. Apa benar?
Itu beda pendapat dan itu biasa. Dengan bapak saya, saya ada beda pendapat. Beda pendapat bukan berarti saya marah-marah. Kan biasa dalam demokrasi beda pendapat. Dengan anak saya saja ada beda pendapat, apalagi dengan orang lain. Saat menang dalam quick count, mereka kirim ucapan selamat kepada saya.

Konkritnya bagaimana? Ada ucapan selamat secara khusus?
Hubungan saya dengan Swedia susah. Apalagi ketika muncul berita menang, handphone ini tak berhenti-berdering. Saya tak mampu menjawab. Panas kuping ini. Karena itu, sering saya matikan daripada ada nada sambung namun tidak saya angkat.

Dalam visi misi, Anda meyebutkan akan memperjuangkan kembali Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) agar sesuai aspirasi rakyat Aceh...
Ya. Saya segera membuat tim lobby di DPRD. Namun, kita juga masih menghormati UU Nomor 11 tahun 2006 sambil menunggu waktu amandemen dikeluarkan oleh Pemerintah
Pusat kita jalankan dulu apakah nantinya sesuai dengan yang kita inginkan.

Dari Ganja Ke Kontraktor


HANIF tampak lebih rapi. Rambut dipangkas pendek, kumis dan jenggot dibabat tanpa tersisa. Penampilan necis. Dia berpakaian rapi. Sangat kontras dengan penampilannya setahun silam, saat dia masih memelihara kumis dan jenggot. Dulu dia juga tidak terlalu hirau dengan penampilan. Banyak yang berubah dari lelaki 39 tahun ini.


Setahun silam, penampilan Hanif masih urak-urakan. Rambut jarang disisir, kumis dan jenggot dibiarkan bergelantungan. Singkat kata, Hanif seperti orang yang tinggal di pegunungan. Memang, Hanif sering berkelana di hutan. Bukan karena dia seorang anggota gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau bagian dari petualang, seperti aktivis pencinta alam. Bukan sama sekali. Kehidupan dia jauh dari bau kedua aktivitas itu. Bahwa dia sering berkelana di hutan dan pegunungan, itu benar! Setahun silam, pria tegar ini masih menjabat agen ganja.

Selama menjadi agen ganja, Hanif bergelimang fulus. Sebulan saja dia mampu mengantongi Rp 125 juta. Hanif hanya bisa menikmati dunia hedon, tapi tidak bisa merengkuh bahagia dan ketenangan. Betapa tidak, saban hari dia merasa dikejar-kejar oleh polisi.

Dunia mafia ganja dilakoni Hanif sejak lulus sekolah menengah atas di sebuah daerah terpencil di Kabupaten Aceh Besar. Mulanya, Hanif hanya terpengaruh bujuk rayu salah seorang toke besar. “Karena sering sukses, akhirnya ketagihan,” ujarnya tersenyum renyah. Sejak saat itu, dia terus keranjingan bermain di daun neraka ini. Tak kurang dari 20 tahun dia menggeluti bisnis mengiurkan ini.

Di dunia hitam itu, Hanif menjelma menjadi bos besar. Dia punya 10 anak buah, yang disebarkan di sepuluh sentra penghasil ganja di Pulo Aceh dan Aceh Besar. Hampir setiap hari anak buahnya mengumpulkan ganja kering di gudang khusus yang ada di rumah Hanif. Setelah terkumpul dalam jumlah banyak, Hanif membawanya ke kota-kota besar untuk dipasarkan.

Jaringan India, Hongkong dan Thailand
Bukan hanya di Indonesia, tahun 2003 dia sudah membuka jaringan pemasaran hingga India, Hongkong, dan Thailand. Banyak pengalaman yang diperoleh Hanif selama bergelut di dunia itu, khususnya trik meloloskan diri dari uberan aparat keamanan. ”Bermain kucing-kucingan dengan polisi sudah terbiasa buat kami,” kata Hanif saat ditemui di Banda Aceh, akhir Januari lalu. “Kami pun harus pandai-pandai bermain tikus-tikusan dengan mereka,” tambahnya.

Bermacam trik dilakukan untuk mengelabui polisi saat membawa barang haram itu. Selalu saja, Hanif sukses. Pepatah sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh jua, agaknya juga berlaku bagi Hanif cs. Pada medio 2001 silam, Hanif diuber polisi dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Masih untung, polisi tidak mengenal nama Hanif, “karena waktu itu saya pakai nama lain,” sebut Hanif.

Sejak resmi jadi DPO, hampir tiap hari rumah Hanif didatangi polisi. Bahkan istrinya pun hampir kewalahan mengadapinya. ”Tapi mereka tidak pernah menemukan barang bukti. Polisi juga selalu menanyakan keberadaan abang, saya selalu menjawab tidak ada orang yang dicarinya,” kata Nur Hayati, (23) istri Hanif.

Saat penggeledahan itu, polisi bukan mencari pria yang bernama Hanif, tapi nama samaran yang digunakannya. “Saya selalu bilang bahwa polisi salah alamat, sehingga mereka pulang dengan marah-marah. Besoknya datang polisi yang lain lagi,” lanjutnya. “Begitulah seterusnya.”

Insyaf
Akibat terus-terusan didatangi polisi, Nur Hayati tidak kuat menghadapi semua itu. Nur Hayati akhirnya membujuk suaminya untuk berhenti menjadi mafia. Pada awalnya, bujukan Nur Hayati dibalas dengan amarah sang suami. Namun, Nur Hayati tak patah semangat. “Saya tetap membujuknya untuk meninggalkan dunia itu. Apalagi anak-anak tambah besar. Apa jadinya, kalau satu hari kelak dia tahu bahwa ayahnya seorang mafia yang dikejar-kejar polisi,” kenang Nurhayati sambil membelai rambut anak bungsunya yang masih dalam gendongan.

September 2005, Hanif resmi “mengundurkan” diri dari dunia “bakong”. Dengan sisa kekayaan, dia mulai mengurus surat-surat pendirian sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Awalnya dia hanya membuat penawaran pekerjaan pada perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Tapi akhirnya perusahaannya itu lolos pada NGO-NGO yang sedang bekerja merekonstruksi Aceh pascatsunami.

Akhir 2006 Hanif telah menyelesaikan puluhan rumah yang didapatnya dari berbagai NGO. ”Saya merasa lebih puas sekarang, karena semua yang saya peroleh adalah hasil dari pekerjaan yang tenang, tanpa dikejar-kejar oleh polisi. Anak dan istri pun bisa bertemu setiap hari,” ungkapnya serius.

Selama berubah profesi banyak hal yang membuatnya puas. Antara lain bisa merekrut anak-anak muda pengangguran di desanya untuk dipekerjakan, termasuk mantan anak buahnya dulu. ”Dari dulu saya sudah memutuskan untuk tetap bersama Bang Hanif dalam kondisi apa pun. Sekarang dia sudah jadi bos bangunan, saya juga ikut bersamanya,” tutur Marzuki, salah seorang mantan anak buah Hanif yang sekarang jadi karyawannya.

Saat ditemuai Aceh Magazine di rumahnya di kawasan Darussalam Aceh Besar beberapa waktu lalu, Hanif tampak sedang duduk santai di bangku depan rumahnya. Dengan wajahnya yang selalu menebarkan senyum dan tutur katanya yang ramah sangat mencerminkan bahwa dia adalah salah satu pemuda yang disegani di desanya.

Seandainya Hanif tidak menceritakan panjang lebar tetang kisah hidupnya, nyaris tidak ada yang tahu kalau dia adalah mantan mafia yang dikejar-kejar polisi. Tapi semua sudah berubah. Hanif kini sudah hidup normal seperti orang kebanyakan. Bagi Hanif, masa lalu yang kelam merupakan sebuah eskperimentasi yang gagal. Makanya, Hanif sama sekali tidak tergoda untuk kembali menekuni bisnis haram itu.

Jawa dalam Pelukan Aceh


PENGUJUNG 2006, jurnalis Aceh Magazine Ricky Fechrizal melakukan perjalanan darat menyusuri pantai timur Aceh guna melihat relasi dan hubungan antarberbagai eknis yang ada di daerah ini. Ia masuk dan “menyusup” ke komunitas Jawa yang telah hidup lama dan beranak pinak di wilayah Aceh bagian timur. Ada yang unik. Ada pula yang menarik. Inilah laporannya.

ASRI. Itulah kesan yang menancap di benak saya usai berkunjung ke Desa Lengkong Kedubang Jawa, Kecamatan Langsa Barat. Jangan heran dengan nama perkampungan yang menggunakan bahasa Jawa. Sebab, desa itu memang dihuni oleh sedikitnya 3000 jiwa etnis Jawa. Hanya segelintir saja etnik Aceh berada di sana.
Kendati Kedubang perkampungan Jawa, hubungan dengan suku asli terbina baik. Perbedaan suku tidak membuat saling bermusuhan, termasuk saat Aceh didera konflik.
Warga di sana sangat ramah, termasuk kepada para pendatang. Keramahan inilah yang membuat kerukunan antarpenduduk Desa Kedubang bisa berdampingan tanpa saling curiga. “Warga di sini sangat menjunjung tinggi keramahan dan tenggang rasa terhadap orang lain,” kata Kepala Desa Kedubang, Yus Putra, saat saya berkunjung ke desa itu akhir tahun lalu. “Itu yang membuat kami bisa hidup rukun, tidak pernah terjadi konflik sampai sekarang,” timpalnya.
Yus Putra berkisah, saat konflik, etnis Aceh di sana menjadi “pelindung” warga beretnis Jawa. Saat etnis Jawa eksodus ke luar Aceh, warga Desa Kedubang aman-aman saja. Mereka masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada rasa takut. Bahkan, tak jarang etnis Jawa yang bermukim di kampung lain mencari perlindungan ke Desa Kedubang.
“Banyak warga Jawa yang berasal dari Peureulak, (Bireum) Bayeun, dan daerah lain yang memilih mengungsi untuk menyelamatkan diri di perkampungan ini,” kata bapak empat anak ini. Yus Putra sendiri sudah 40 tahun menetap di Desa Kedubang.
Bahkan, saat Aceh memasuki fase perdamaian, banyak etnis Jawa dari luar Kedubang ogah kembali ke kampung asal. Mereka tetap menetap dan membuat rumah di sini. Hanya untuk mencari nafkah saja, mereka kembali ke kampung asal.
Di perkampungan ini, terdapat dua pos keamanan saat konflik. Satu pos TNI dan satu pos polisi. Ketika kontak senjata menjadi “kegiatan” rutin di daerah lain, di desa ini malah sangat jarang terdengar senjata menyalak. Yus Putra menyebutkan, hanya sekali saja pernah terjadi kontak tembak antara pasukan pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Itu pun di kawasan perkebunan yang bersebelahan dengan Desa Lengkong Kedubang Jawa. Saat itu, satu anggota gerilyawan tewas.
Kendati mayoritas penduduknya beretnis Jawa, GAM tidak pernah mengusik desa ini. Memang, ada beberapa anggota GAM yang masuk ke perkampungan. “Tapi mereka baik-baik, tidak pernah meminta apa pun dari masyarakat di sini,” kenang Yus. “Pernah terjadi, seorang anggota GAM ke sini untuk menjual ikan.

TIDAK diketahui pasti kapan awal mulanya etnis Jawa bermigrasi ke Aceh. Penerus “dinasti” Jawa di Kedubang juga tidak mengetahui sejarahnya. Hanya saja, mereka mengaku nenek moyang mereka dibawa oleh Kolonial Belanda. Tujuannya, untuk bekerja di perkebunan dan perusahaan Belanda yang dikelola perusahaan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Tapi tunggu dulu! Kendati nenek moyang mereka dibawa oleh Kolonial Belanda, bukan berarti etnis Jawa di Aceh manut alias patuh saja pada penjajah. Saat perang, suku Jawa ini juga bahu membahu dengan warga Aceh mengusir penjajah. Salah satu pahlawan itu bernama Ribut bin Totong yang meninggal dunia pada usia 80 tahun. Dia sangat berjasa menumpas penjajahan di masa kolonial.
Di Kota Langsa, terdapat sedikitnya 20.000 masyarakat Jawa. Sangat mudah menandakan perkampungan Jawa. Biasanya, mereka menamakan kampung dengan bahasa Jawa atau perkampungan yang ada di Pulau Jawa sana. Lihat saja nama Sidorejo, Sidodadi, atau Lengkong Kedubang. “Kampung Lengkong diambil dari nama perkampungan di Purworejo, Jawa Tengah. Mungkin orang yang pertama menginjakkan kaki ke sini adalah orang Jawa yang berasal dari Kampung Lengkong,” kata Tina, warga Lengkong Kedubang Jawa.
Ada tujuh perkampungan yang khusus didiami suku Jawa, yaitu Desa Lengkong kedubang Jawa sekitar 3.000 jiwa, Karang Anyar (3.000 jiwa), Lengkong Kedubang Aceh (1.500 jiwa). Ketiga desa itu terdapat di Kecamatan Langsa Barat. Sementara di Kecamatan Langsa Timur, yaitu Sidorejo (3.000 jiwa), Selala (3.000 jiwa), Kemuning (3.000 jiwa), dan Desa Sidodadi (3.000 jiwa).
Mayoritas suku Jawa di Langsa bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tak ayal, di setiap pekarangan rumah ada tanaman sawit yang menjulang. Tina menyebutkan, penghasilan utamanya dari sawit. Setiap pekan, dia
bisa mendapatkan Rp 50.000 dari enam pokok sawit di halaman rumahnya. “Setiap hari masyarakat di kampung ini bisa menghasilkan satu truk kelapa sawit,” Yus Putra menimpali.

Lantas, apa harapan mereka kini kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang telah terpilih menduduki kursi kegubernuran dengan latar belakang GAM?
“Kami berharap pemimpin terpilih dapat menjaga perdamaian, mensejahterakan Aceh,” kata Yus. Itu saja? Ada satu harapan lain: “Jangan bedakan antara satu suku dengan suku yang lain. Antara suku Aceh dan Jawa. Selama ini kami sudah hidup berdampingan dengan baik.” Harapan, sekaligus permintaan.

Senin, 25 Juni 2007

Hidup Saat Dikubur



Melihat kepalaku bergerak di dalam kubur, beberapa petugas berlarian untuk merapat. Aku yakin, pastilah ada di antara mereka yang terkejut dan merasa ngeri, melihat ada mayat yang tiba-tiba bangkit dari kubur.

NAMAKU Mahyuddin, umur 57 tahun. Warga Punge Jurong, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, tempat dulunya aku bermukim, memanggilku “Udin Serambi”. Soalnya, sejak Serambi Indonesia berdiri tahun 1989 aku sudah bekerja di harian ini sebagai sopir. Aku kerap bepergian ke luar kota mengantar koran Serambi kepada para agen.

Tapi setelah tsunami menghantam desa tempat kami tinggal, pada 26 Desember 2004, kami yang tersisa dari bencana dahsyat itu pindah ke Desa Cot Masjid, Luengbata, Banda Aceh, daerah yang tak terkena gempuran tsunami.

Gelombang raksasa itu benar-benar telah mengubah hidupku. Istri dan satu anak gadisku hilang disapu tsunami. Begitu pula rumah kami di Punge Jurong. Sekarang aku alih profesi, sebagai tukang bangunan, sekaligus menjadi bilal masjid. Bersama tiga anak lelakiku yang selamat, kami memulai hidup baru di Cot Masjid, di rumah istri baruku.
---


Hingga kini masih terbayang di benakku betapa dahsyatnya bencana itu. Begitu gempa kuat pada Mingggu pagi, 26 Desember 2004, itu reda, aku langsung ke luar rumah, menuju jalan raya. Warga Punge Jurong lainnya pun berbuat begitu.

Ketika itu kami tak begitu panik, cuma cemas. Tapi ketika rekanku menawarkan rokok dan hendak kusulut, saat itulah kepanikan mulai terjadi. Soalnya, beberapa orang dari arah Ulee Lheue berlarian sambil berteriak, “Lari, lari, air laut naik!”

Sekonyong-konyong, ribuan orang berlarian. Dari lorong-lorong yang sempit ramai orang yang bergegas mencapai jalan raya, kemudian berlari menuju kota. Suasana saat itu sungguh seperti lomba lari bagi para pejalan kaki dan bagaikan ajang balapan bagi pengemudi kendaraan. Tanpa peduli pada mereka yang jatuh tersungkur, orang terus berlarian kearah kota, menjauh dari pantai. Pengendara juga memacu kendaraannya sekencang-kencangnya. Di sepanjang jalan itu, ketika tsunami belum menerpa, sudah beberapa orang tergeletak, karena ketabrak ataupun terinjak.

Sambil lari, aku menoleh ke belakang, ke arah pantai Ulee Lheue. Masya Allah, gelombang hitam setinggi pohon asam jawa tampak dari kejauhan. Dinding air itu demikian menyeramkan. Derunya membahana.

Hanya dalam hitungan menit, gelombang dari laut itu merangsek ke arah kota dan membenamkan semua manusia, rumah, toko, dan entah apa lagi yang dilindasnya.
Arus ombak yang deras itu pun akhir­nya tiba ke di tempatku yang sedang berupaya lari, langsung menghantam dan menggulung tubuhku. Berkali-kali aku digulung, sampai kemudian terbenam di dalam air. Beberapa saat kemudian, aku merasa sudah tersangkut pada fondasi rumah orang yang dinding maupun atapnya sudah rubuh.

Dari dasar fondasi rumah itu tiba-tiba ombak melemparkanku kembali ke permukaan. Kepalaku membentur mobil reo milik Brimob yang terapung-apung.

Dalam keadaan kritis, karena gelombang belum surut, terlihat olehku atap rumah. Aku coba gapai dan berhasil naik ke atasnya. Setiba di atas atap barulah aku sadar bahwa tubuhku tak lagi ditutupi sehelai benang pun. Pakaianku tanggal diporoti air yang berputar.

Ketika air mulai surut perlahan, aku berdoa agar diberi pertolongan oleh Allah, minimal dapat mengenakan kain untuk membalut tubuh. Tak lama kemudian, tak jauh dari tempat aku bersandar, hanyut kain jemuran, kemudian tersangkut. Dengan mudah dapat kuraih. Alhamdulillah, kain yang tersangkut itu ternyata sehelai celana puntung.

Setelah menutup aurat dengan celana puntung itu, aku turun dari atap rumah. Pemandangan di bawah sangat menggidikkan bulu roma. Mayat-mayat berserakan. Tubuh mereka terbalut lumpur yang mengental. Aku amati, tak ada satu pun lagi yang bergerak. Semuanya mati tragis.

Aku mulai menapaki jalan Punge yang penuh sampah, puing, bahkan mayat yang bergelimpangan. Tujuanku hanya satu: berjalan ke Masjid Raya Baiturrahman di jantung Kota Banda Aceh.

Dengan fisik yang mulai lemah, aku berjalan tertatih-tatih, tanpa baju. Untung matahari tak begitu terik. Orang-orang yang berpapasan denganku wajahnya penuh luka, duka, dan lara. Sesampainya di samping Masjid Raya Baiturahman, karena lelah berjalan dan digulung tsunami, aku jatuh terkapar. Orang-orang menyebutku pingsan. Yang jelas, setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
---





Belakangan, aku tahu sebuah cerita unik tentang diriku. Setelah jatuh pingsan di pekarangan masjid itu. Tim evakuasi mengira aku sudah mati. Memang, di pekarangan, bahkan di dalam masjid raya saat itu, banyak sekali mayat bergelimpangan.

Karena dikira sudah meninggal, pada hari kedua tsunami jasadku diangkut naik truk, kemudian ditaruh di Bundaran Lambaro, Aceh Besar, tempat ribuan mayat dari Banda Aceh dan Aceh Besar ditumpuk pada hari-hari pertama hingga keenam tsunami. Di bundaran itulah aku terbaring selama tiga hari di antara mayat-mayat. Setelah itu, jasadku diangkut bersama tubuh-tubuh lainnya ke kawasan Ulee Titi, Siron, Aceh Besar, untuk dimakamkan.

Kata seorang anggota tim evakuasi, jasadku sempat dilemparkan dari truk, kemudian ditanam bersama mayat-mayat. Waktu itu tubuhku sudah ditimbun dengan tanah, hanya sebatas leher yang masih tersisa. Tatkala operator alat berat (becho) untuk terakhir kali akan menjatuhkan tanah menimbun bagian kepalaku, Allah berkehendak lain. Aku tersadar dari pingsan atau bahkan dari mati suri. Betapa terkejutnya aku, melihat di sekelilingku mayat semua.

Aku juga melihat ada beberapa petugas yang mengurus penguburan mayat secara massal di tempat itu. Saat itu tiba-tiba kepalaku dapat kugerakkan, sedangkan kaki dan tangan tidak, karena sudah terbenam dalam timbunan tanah.

Melihat kepalaku bergerak di dalam kubur, beberapa petugas berlarian untuk merapat. Aku yakin, pastilah ada di antara mereka yang terkejut dan merasa ngeri, melihat ada mayat yang tiba-tiba bangkit dari kubur.

Setelah sadar, aku diangkat dari tumpukan mayat, kemudian dibawa ke Pukesmas Lambaro. Di sini aku mendapat pertolongan medis, bahkan diinfus.

Menurut cerita dari anggota tim evakuasi itu, di Bundaran Lambaro aku dijejerkan dalam tumpukan mayat yang ratusan jumlahnya. Tiga hari digeletakkan di situ, barulah aku diangkut ke kuburan massal yang hanya berjarak 800 meter dari tempat mayat ditumpuk.

Ketika itu sudah memasuki hari kelima tsunami, tepatnya hari Jumat. Sebelumnya, sudah banyak mayat yang duluan dikubur, sehingga saat hendak membungkus tubuhku dan beberapa mayat lainnya di tempat penumpukan itu stok kain kafan maupun stok kantung mayat, habis.

Sekarang aku baru tahu hikmah di balik ketiadaan kain kafan dan kantong mayat pada hari itu. Coba kalau tubuhku sempat dibungkus, pastilah tidak kelihatan, dan aku sudah langsung dikubur hidup-hidup.
---


Dalam keadaan kritis di Pukesmas Lambaro, aku mendapat perhatian dari banyak pihak. Soalnya, telanjur tersiar kabar bahwa ada korban tsunami yang dikira sudah mati, tiba-tiba hidup saat dikubur.

Seingatku, yang paling banyak menjenguk selama lima hari aku dirawat di Pukesmas Lambaro adalah orang dari luar negeri, seperti Thailand, Korea, Malaysia, serta bule dari negara lainnya.

Aku juga masih ingat secara samar-samar, saat aku dirawat seorang warga negara Thailand yang baik hati memberiku baju.

Kondisi tubuhku saat itu sangat memprihatinkan, karena luka serius. Kaki kiriku berlubang, jidat dan kepalaku juga mengalami luka sobek yang cukup besar.

Pada hari kesepuluh dirawat di Puskesmas tersebut barulah anak laki-lakiku mendapati diriku sedang dirawat di Puskesmas tersebut. Saat bertemu, kami bertangisan sejadi-jadinya, karena masing-masing mengira tak bakal pernah bertemu lagi. Dari anakku itulah aku tahu bahwa anak gadisku bersama ibunya hilang tak berjejak. Sedangkan dua anak lelakiku lainnya, masih selamat. Alhamdulillah, masih ada anak keturunanku yang tersisa.

Anakku membawa aku pulang ke rumah saudara di Ketapang, Banda Aceh. Saat beranjak hendak meninggalkan Puskesmas, seorang warga Korea memberiku sebuah tongkat yang sampai sekarang masih kusimpan.
---


Sekarang, setelah setahun lebih tragedi tsunami berlalu, aku mulai menata hidup baru. Beberapa bulan lalu aku menikah dengan wanita asal Desa Cot Masjid Lueng Bata, Banda Aceh.

Memang sudah kehendak Allah, aku dapat hidup kembali setelah pingsan atau bahkan mati suri berhari-hari. Atas bimbingan dan restu Ilahi pula aku mendapat jodoh di sini. Bersama istri baru ini kutemukan ketenangan dan kedamaian. Apalagi ketiga anak laki-lakiku pun ikut tinggal bersama kami. Semua kami hidup rukun. Sekarang aku bekerja sebagai tukang bangunan di Punge Jurong. Rumah lamaku di kawasan ini juga mulai dibangun.

Kini, aku semakin mendekatkan diri ke jalan Ilahi. Tak pernah lagi bolos beribadah, bahkan kuabdikan diri sebagai bilal masjid.

NOTA KESEPAHAMAN RI-GAM DI HELSINKI


Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang
digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Nota Kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi. Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.

1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.

1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.

1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.

1.2. Partisipasi Politik

1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.

1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.

1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April 2006.

1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.

1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.

1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.

1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.

1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.

1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.

1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.

1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).

1.4. Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui.

1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.

1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatanganidi Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.

1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.

2. Hak Asasi Manusia

2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.

2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat

3.1. Amnesti

3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring.

3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh amnesti.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat.

3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.

3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.

3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk.

3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.

3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:

a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.

3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.

4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.

4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.

4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.

4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.

4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.

4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.

4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.

4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.

4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh

5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.

5.2. Tugas AMM adalah untuk:

a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya.
b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.

5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM.

5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.

5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.

5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.

5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.

5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.

5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi.

5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.

5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan

6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatanganidi Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.


A.n. Pemerintah Republik Indonesia, A.n. Gerakan Aceh Merdeka,


Hamid Awaluddin Malik Mahmud
Menteri Hukum dan HAM

Pimpinan Disaksikan oleh,
Martti Ahtisaari Mantan
Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative Fasilitator proses negosiasi

GAM Dibubarkan Di Meja Perundingan


Pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi dan beberapa elit di Jakarta untuk membubarkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapat tanggapan serius dari pakar hukum internasional; Maryati SH.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh sejak 1989 ini berpendapat, membubarkan GAM berarti berbicara koridor hukum. Padahal, dalam MoU yang ditan­dat­angani oleh wakil Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, tidak tercantum satu pun point yang menyatakan GAM mesti bubar. Jadi, bagaimana GAM harus dibubarkan? Maryati menuturkannya kepada Muhammad Ali dari Aceh Magazine.

Bagaimana Anda melihat perkembangan MoU yang sudah berjalan?
Kedua pihak semakin memahami arti penting dari sebuah perjanjian ini. Artinya dalam konteks politik dan demokrasi kedua pihak semakin memposisikan diri pada porsinya ma­sing-masing.

Bisa jelaskan pandangan hukum in­ternasional terhadap MoU?
MoU adalah kesepakatan antara dua pihak. Dalam konteks MoU Helsinki, sebuah perjanjian pendahuluan yaitu kesepakatan damai antara pihak RI dengan GAM. Kemudian kesepakat­an itu dituang dalam MoU sesuai mak­sud para pihak. Dalam pandangan hu­kum internasional, MoU Helsinki da­pat digolongkan dalam kesepakat­an internasional yang bersifat treaty contract (hanya mengikat pihak yang me­nandatangani saja), bukan ke­mu­di­­an diartikan law making treaties (me­ngikat pihak lain di luar pembuat kesepakatan).

Soal polemik pembubaran GAM, An­da melihat MoU Helsinki ikut mengatur soal itu?
Tidak. kaitannya dengan itu, MoU ha­nya mengamanahkan pengalihan sta­tus tentara dari Tentara Neugara Aceh (TNA) kepada Komite Peralihan Aceh (KPA) dan pemusnahan senjata GAM. Itu sudah dilakukan.


Ada suara-suara yang minta GAM dibubarkan? Komentar Anda?
Bagaimana bisa Kalau tidak diatur da­lam MoU? Dalam beberapa kali ra­pat CoSA pun tidak pernah dibicarakan. Kalau pun ada yang berasumsi de­mikian, saya pikir coba kembali ke draft MoU dululah. Karena draft itu ada­lah referensi resmi dalam berbagai hal menyangkut proses perdamaian. Maaf ya, saya bukan bela GAM. Ini se­mua berdasarkan kajian hukum.

Bagaimana soal penyebutan ‘mantan’ bagi Perdana Menteri GAM Malik Mahmud atau mantan juru bicara GAM dalam beberapa pemberitaan media?
GAM belum bubar, (jadi) bagaimana menyebutkan mantan? Sebutan itu baru boleh kalau GAM sudah bu­bar atau pemerintahan GAM yang dibubarkan. Tapi saya tidak mende­ngar apakah pemerintahan GAM su­dah dibubarkan atau belum.


Siapa yang berhak membubarkan?
Hanya GAM yang dapat membu­barkan dirinya. Kalau pun ada pihak-pihak yang mengatakan GAM harus bubar, jawabannya harus kembali ke meja runding. Hanya meja runding yang dapat memutuskan.

Status GAM sekarang?
Tetap sebuah organisasi yang eksis dan harus dipandang sebagai sebuah or­ganisasi resmi.

Setelah AMM meninggalkan Aceh, siapa yang mengawasi perdamaian?
Perjanjian itulah yang akan mengawasinya. Mereka sudah punya satu komitmen kesepakatan, yaitu damai.

Bagaimana Anda melihat eksistensi GAM ke depan pasca terpilihnya Irwandi-Nazar sebagai gubernur?
Irwandi-Nazar memang mendapat dukungan penuh dari GAM. Tapi me­ngenai eksistensi GAM ke depan, sa­ya pikir tidak ada sangkut pautnya dengan ini. Setelah resmi jadi gu­bernur Acehmereka akan terikat dengan sis­­tem pemerintahan Aceh yang sesuai de­ngan MoU dan Undang-undang Pe­merintah Aceh (UUPA). Sedangkan GAM adalah organisasi yang berdiri sebelum UUPA. Di satu sisi GAM me­mang sudah eksis, tapi di sisi lain eksistensi ini terbenam oleh sistem pe­merintah Indonesia yang tidak menga­kui GAM sebelum MoU.l

Satu Bidikan, Ragam Julukan


SEJATINYA Aceh Merdeka alias AM merupakan nama resmi GAM yang disematkan oleh pen­dirinya Teungku Hasan di Tiro pa­­da 4 Desember 1976. Namun ka­­la itu, Pemerintah Indonesi­a sa­ma sekali tidak mengakui ke­beradaan gerakan ini. Maka po­li­tik labe­li­sasi pun kemudian di­kenakan ke pundak AM. Ini dia antara lain sebutan la­in untuk AM yang kemudian be­­r­ubah lakap menjadi Gerakan A­ceh Merdeka (GAM).


Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT)
Ini merupakan tuduhan perta­ma yang dialamatkan Pemerin­tah Indonesia kepada Aceh Mer­de­ka (AM) pada tahun 1976-1979. tentu orang-orang tua di Aceh ke­­­tika itu masih ingat dengan selebaran-selebaran yang memuat sembilan foto dan nama Kabinet Hasan di Tiro ditulis: "Tangkap Hidup atau Mati". Pemerintah Indone­sia memperkirakan, dalam enam bulan, anggota dan pen­dukung GPLHT itu akan hancur.

Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)
Gagal dengan sebutan gerombolan yang berkonotasi negatif, Pemerintah Indonesia kemudian mengubah sebu­tan itu menjadi gerakan. Lengkapnya Gerakan Pengacau Keamanan. Kegiatan ini semakin merajalela ketika Aceh menyandang status Daerah Operasi Militer (DOM).


Kekuatan Sipil Bersenjata (KSB)
Stigman ini menguap pada masa Jeda Kemanusiaan digarap sekitar tahun 2001.

Gerakan Separatis Aceh (GSA)
Pemerintah Indonesia mengklaim Aceh bagian dari In­do­­nesia. Pemisahan diri tentu saja dilabeli sebagai separatis. Sebutan GSA sering diucapkan oleh pihak militer.

Gerakan Sipil Bersenjata (GSB)
Sejurus dengan GSA, sebutan GSB ditempel pada GAM. Julukan ini sering digaungkan oleh pihak kepolisian.

GAM TUTUP BUKU


What’s in a name. “Apalah artinya sebuah nama,” begitu gugat sastrawan kelahiran Inggris, William Shakespeare. Tentu saja sebuah nama memiliki makna, bahkan sakral. Orang Islam, misalnya, mempercayai nama seseorang mengandung doa. Dalam bisnis, nama itu identitas dan menyangkut hak cipta pula. Makanya, lembaga hak paten pun kemudian dibentuk. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya tak ada lembaga atau pihak lain mencuri nama yang sama dengan tujuan berbeda.

Maka, ‘apalah arti sebuah nama’ tentu menemukan maknanya. Sebut saja, misalnya, nama yang diangkat dari sebuah akronim: GAM! Maka, pemikiran masyarakat yang tinggal di Aceh pasti melebar kepada sebuah organisasi legendaris; yakni Gerakan Aceh Merdeka. Itu berarti, nama memiliki makna.

Pasca perjanjian damai Helsinki, kata-kata ‘merdeka’ yang disimbolkan dengan huruf M pada deretan font pembentuk kata GAM menjadi sesuatu yang menimbulkan kegerahan buat kalangan tertentu. Ada nuansa kalau kata-kata itu tak lagi boleh beredar di atmosfir Aceh. Desakan untuk membubarkan GAM pun kemudian disuarakan oleh kaum nasionalis di Jakarta maupun anggota dewan dari Gedung Senayan.

Terus terang, ini bukan sodokan pertama terhadap GAM. Suara miring dan ambisi membubarkan organisasi bentukan Hasan Tiro ini sudah dilontarkan jauh-jauh hari, bahkan begitu perjanjian Helsinki usai ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh Malik Mahmud mewakili GAM dan Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Republik Indonesia (RI).
“Jika sekarang GAM dibubarkan, dengan siapa nanti RI berunding jika ada masalah?” mantan Panglima GAM Wilayah Pasee Sofyan Dawood, balik bertanya ketika itu. Ia menganggap keliru jika pemerintah RI membubarkan GAM. Sebuah pertanyaan retoris yang logis sekaligus mengelikan dari seorang Sofyan.

Gebrakan menuntut GAM compang-camping memang tak surut dilancarkan. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil mengatakan setelah perdamaian abadi terwujud di Aceh, maka tidak ada lagi organisasi GAM. “Sekarang ini memang GAM adalah partner kita, sampai semua prosedur berjalan dengan baik. Tetapi nanti, kalau perdamaian abadi sudah terwujud di Aceh dan selesai semuanya, GAM tentu tidak perlu lagi,” tegasnya kepada wartawan di Banda Aceh, 2 September 2005.

Menteri kelahiran Aceh Timur, ini memberi isyarat setelah GAM ikut dalam partisipasi politikseperti pesta demokrasi pemilihan kepala daerah; gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikotamaka tidak ada lagi lakab Gerakan Aceh Merdeka. Dia menambahkan tidak ada masalah kalau GAM berubah nama menjadi Gerakan Aceh Makmur atau Gerakan Aceh Membangun. Yang tidak boleh karena dianggap berkategori haram alias sudah di atas level makruh dalam tataran kebangsaanadalah menabalkan kata ‘merdeka’! Jalinan tuntutan ini pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang berfatwa GAM tidak perlu ada lagi dan harus bubar setelah semua poin persetujuan Nota Kesepahaman Helsinki Perdamaian Aceh dipenuhi. “Begitu semua poin persetujuan itu jalan, GAM tak dibutuhkan lagi,” kata Kalla di Istana Wakil Presiden.

Alergi Merdeka
Setali tiga uang. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi pun meminta GAM untuk dibubarkan. Muladi beralibi, pembubaran GAM diperlukan agar tidak ada lagi keraguan berbagai komponen bangsa terhadap komitmen keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atawa NKRI oleh kalangan GAM. Dirinya sendiri, terang mantan Rektor Universitas Diponogoro Semarang, ini tidak sedikit pun meragukan komitmen ke-NKRI-an GAM pascaperjanjian damai Helsinki. Secara khusus ia pun haqqul yakin terhadap mantan perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai representasi GAM Irwandi Yusuf dalam hal komitmen kebangsaan ini. Muladi bahkan menyatakan sangat siap mendukung kepemimpinan mantan Staf khu¬sus Psy War Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka sayap militer GAMyang juga dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, itu sebagai gubernur Aceh yang terpilih secara demokratis. Pun begitu, Muladi tetap mempersoalkan kata ‘merdeka’ yang disandang GAM. Pria bertubuh besar ini beralibi.

Dari nama yang disandang, kata Muladi, GAM mengesankan seolah-olah masih mengobarkan semangat separatisme yang sangat bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Karenanya harus diganti atau dibubarkan, meski itu bukan bagian dari kesepakatan Helsinki. “Mungkin sebagai kenang-kenangan, bolehlah. Perkumpulan eks GAM. Tapi jangan pakai nama itu lagi. Gerakan Aceh Merdeka, tidak ada ceritanya lagi di Indonesia,” ujar pakar hukum tata negara ini pada 13 Desember 2005.

Ibarat paduan suara, lirik senada juga didengungkan Ketua DPR RI Agung Laksono. “Sekarang ini setelah mantan tokoh GAM menang dalam pilkada 11 Desember lalu, sebaiknya nama GAM tidak dipakai lagi. Mari kita kubur masa lalu dan kita tatap masa depan,” ujar Agung mantap di Jakarta, sehari usai Pilkada di Aceh.


Protes AMM
Bisa dimengerti jika kubu nasionalis Indonesia meminta GAM segera dikuburkan. Mereka alergi mendengar kata merdeka digaungkan. Selain itu, simbol-simbol yang berkaitan dengan GAMseperti benderaharam dipamerkan atau dipakai. Tetapi, gelombang permintaan penolakan simbol-simbol GAM ini, seperti pin yang disematkan baju atau bendera GAM yang terdiri dari bulan sabit dengan dua garis hitam di atas dan bawah, juga disuarakan oleh Ketua AMM Pieter Feith.

Feith yang berkebangsaan Belanda ini sangat piawai menggunakan momentun menjelang misi AMM berakhir pada 15 Desember 2006. Dia mengamini pendapat para politikus Jakarta, yang terlalu mempersoalkan simbolisme. “Dalam MoU poin 4.2 tentang Pengaturan Keamanan disebutkan GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 personel pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini,” ucapnya telak saat jumpa pers terakhir di Kantor AMM di Banda Aceh pada 14 Desember 2006.

Nada keras Feith semakin nyaring digaungkan setelah Irwandi dan Nazar unggul dalam perolehan suara pilkada 11 Desember lalu. Feith menyebutkan, jika merujuk pada salah satu pasal dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Gubernur Aceh adalah perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan simbol GAM bertentangan dengan konstitusi dan semangat MoU Helsinki. “Saya yakin, jika sudah ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada Gubernur Aceh, maka Irwandi-Nazar beserta anggota GAM lainnya akan menaati hal itu,” ungkap Feith serius.

Feith menyebutkan, pihaknya sudah memiliki kesepakatan umum dengan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud bahwa penggunaan simbol-simbol GAM harus dihindari. Pasalnya, pemakaian simbol ini bisa meningkatkan birahi keraguan dari komitmen GAM terhadap proses perdamaian. “Kami rasa, Irwandi juga tahu mengenai hal itu,” ingat Ketua AMM.
Selain mengkritik, secara jantan Feith pun memuji GAM yang berhasil merayakan Milad 4 Desember 2006 tanpa menimbulkan gejolak. Pria berbadan besar ini juga tidak menepis bahwa dalam MoU Helsinki disepakati Aceh berhak mendapatkan bendera, simbol, dan logo sendiri. Menyangkut simbol-simbol itu, terutama soal bendera dan logo, Feith menyatakan hal ini sebaiknya dibahas oleh Pemda Aceh. “Tapi itu tidak perlu harus bendera GAM,” ingatnya.

GAM Tutup Buku
Tak pelak, tudingan dan tuntutan untuk membubarkan GAM menggiring birahi anggota GAM angkat bicara. Irwandi Yusuf yang terpilih sebagai gubernur Aceh meminta semua kalangan tidak terlalu mempersoalkan pemakaian logo dan simbol GAM oleh kadernya. “Ini bukan atribut militer. Ini cuma simbol organisasi,” bantah “alumnus” Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, ini.

Irwandi menyesalkan sikap Feith mengungkit-ungkit pembubaran GAM. Sebaliknya, dokter hewan ini beralibi, secara alamiah nantinya GAM juga bakal bubar dengan sendirinya. Dia bahkan balik menunding sikap Ketua AMM yang mempersoalkan masalah remeh temeh. Padahal, ada hal lebih besar yangmenurut Irwandiperlu disorot AMM; seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Penyelesaian Klaim. Dalam pantauan Aceh Magazine, hingga AMM bubar pada 15 Desember 2005, kedua hal ini memang tak berhasil dituntaskan oleh Feith dan rekan-rekannya di AMM.

Irwandi benar-benar terlihat kesal. “Yang bisa membubarkan GAM ya GAM itu sendiri,” ujarnya kepada Idrus Saputra dari Aceh Magazine. “Dalam MoU tidak disebutkan pembubaran GAM. Yang ada pembubaran sayap militer GAM dan itu sudah dilaksanakan pada 27 Desember 2005,” terang Irwandi, lagi.

Begitu pun, kekesalan Irwandi tampaknya belum usai. Menanggapi polemik yang tanpa ujung ini ia pun kemudian menggugat. “Apakah dengan naiknya bendera GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur?” tanyanya, retoris. (Baca Interviu Irwandi Yusuf: Hubungan Saya dengan Swedia Susah).


Mantan TNA, Anggota GAM
Di tingkat arus bawah sendiri tak permah terbersit keinginan untuk membubarkan diri. “Jangan sebut kami mantan GAM. Yang benar kami mantan TNA,” ungkap seorang mantan kombatan GAM kepada Aceh Magazine. Dalam struktur GAM, TNA atawa Teuntara Neugara Aceh memang telah dilebur menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).


Jadi, apalah arti sebuah nama. Kembali mengutip Irwandi Yusuf; apakah mengangkasanya bendera atau simbol GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur. Simbol dalam format pin, bendera, atau lambangsuka atau tidakmemang dapat menimbulkan romantisme masa lalu yang dikhawatirkan membangkitkan kembali birahi melepaskan diri dari induk di Jakarta. Tetapi bukankah GAM telah menutup kotak peluru dan kini menerima kotak suara?

Pasca Pilkada 11 Desember 2006, banyak pihak kini sepakat untuk tidak terperosok pada wacana dan simbolifikasi sehingga melalaikan persoalan sosial dan hal-hal subtansi yang kini sedang bergulir; pengangguran, kemiskinan, korban tsunami, dan korban konflik. Ini, tentu, soal-soal yang lebih membutuhkan perhatian dan solusi konkrit. Apalagi, dalam perjanjian damai Helsinki memang tidak lagi ada sebutir kata ‘merdeka’ pun bercokol di sana.

Jadi, masih perlukah mempersoalkan simbol atau sebuah nama ketika rakyat butuh makan dan lapangan kerja? (IDRUS SAPUTRA/MURIZAL HAMZAH)