What’s in a name. “Apalah artinya sebuah nama,” begitu gugat sastrawan kelahiran Inggris, William Shakespeare. Tentu saja sebuah nama memiliki makna, bahkan sakral. Orang Islam, misalnya, mempercayai nama seseorang mengandung doa. Dalam bisnis, nama itu identitas dan menyangkut hak cipta pula. Makanya, lembaga hak paten pun kemudian dibentuk. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya tak ada lembaga atau pihak lain mencuri nama yang sama dengan tujuan berbeda.
Maka, ‘apalah arti sebuah nama’ tentu menemukan maknanya. Sebut saja, misalnya, nama yang diangkat dari sebuah akronim: GAM! Maka, pemikiran masyarakat yang tinggal di Aceh pasti melebar kepada sebuah organisasi legendaris; yakni Gerakan Aceh Merdeka. Itu berarti, nama memiliki makna.
Pasca perjanjian damai Helsinki, kata-kata ‘merdeka’ yang disimbolkan dengan huruf M pada deretan font pembentuk kata GAM menjadi sesuatu yang menimbulkan kegerahan buat kalangan tertentu. Ada nuansa kalau kata-kata itu tak lagi boleh beredar di atmosfir Aceh. Desakan untuk membubarkan GAM pun kemudian disuarakan oleh kaum nasionalis di Jakarta maupun anggota dewan dari Gedung Senayan.
Terus terang, ini bukan sodokan pertama terhadap GAM. Suara miring dan ambisi membubarkan organisasi bentukan Hasan Tiro ini sudah dilontarkan jauh-jauh hari, bahkan begitu perjanjian Helsinki usai ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh Malik Mahmud mewakili GAM dan Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Republik Indonesia (RI).
“Jika sekarang GAM dibubarkan, dengan siapa nanti RI berunding jika ada masalah?” mantan Panglima GAM Wilayah Pasee Sofyan Dawood, balik bertanya ketika itu. Ia menganggap keliru jika pemerintah RI membubarkan GAM. Sebuah pertanyaan retoris yang logis sekaligus mengelikan dari seorang Sofyan.
Gebrakan menuntut GAM compang-camping memang tak surut dilancarkan. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil mengatakan setelah perdamaian abadi terwujud di Aceh, maka tidak ada lagi organisasi GAM. “Sekarang ini memang GAM adalah partner kita, sampai semua prosedur berjalan dengan baik. Tetapi nanti, kalau perdamaian abadi sudah terwujud di Aceh dan selesai semuanya, GAM tentu tidak perlu lagi,” tegasnya kepada wartawan di Banda Aceh, 2 September 2005.
Menteri kelahiran Aceh Timur, ini memberi isyarat setelah GAM ikut dalam partisipasi politikseperti pesta demokrasi pemilihan kepala daerah; gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikotamaka tidak ada lagi lakab Gerakan Aceh Merdeka. Dia menambahkan tidak ada masalah kalau GAM berubah nama menjadi Gerakan Aceh Makmur atau Gerakan Aceh Membangun. Yang tidak boleh karena dianggap berkategori haram alias sudah di atas level makruh dalam tataran kebangsaanadalah menabalkan kata ‘merdeka’! Jalinan tuntutan ini pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang berfatwa GAM tidak perlu ada lagi dan harus bubar setelah semua poin persetujuan Nota Kesepahaman Helsinki Perdamaian Aceh dipenuhi. “Begitu semua poin persetujuan itu jalan, GAM tak dibutuhkan lagi,” kata Kalla di Istana Wakil Presiden.
Alergi Merdeka
Setali tiga uang. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi pun meminta GAM untuk dibubarkan. Muladi beralibi, pembubaran GAM diperlukan agar tidak ada lagi keraguan berbagai komponen bangsa terhadap komitmen keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atawa NKRI oleh kalangan GAM. Dirinya sendiri, terang mantan Rektor Universitas Diponogoro Semarang, ini tidak sedikit pun meragukan komitmen ke-NKRI-an GAM pascaperjanjian damai Helsinki. Secara khusus ia pun haqqul yakin terhadap mantan perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai representasi GAM Irwandi Yusuf dalam hal komitmen kebangsaan ini. Muladi bahkan menyatakan sangat siap mendukung kepemimpinan mantan Staf khu¬sus Psy War Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka sayap militer GAMyang juga dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, itu sebagai gubernur Aceh yang terpilih secara demokratis. Pun begitu, Muladi tetap mempersoalkan kata ‘merdeka’ yang disandang GAM. Pria bertubuh besar ini beralibi.
Dari nama yang disandang, kata Muladi, GAM mengesankan seolah-olah masih mengobarkan semangat separatisme yang sangat bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Karenanya harus diganti atau dibubarkan, meski itu bukan bagian dari kesepakatan Helsinki. “Mungkin sebagai kenang-kenangan, bolehlah. Perkumpulan eks GAM. Tapi jangan pakai nama itu lagi. Gerakan Aceh Merdeka, tidak ada ceritanya lagi di Indonesia,” ujar pakar hukum tata negara ini pada 13 Desember 2005.
Ibarat paduan suara, lirik senada juga didengungkan Ketua DPR RI Agung Laksono. “Sekarang ini setelah mantan tokoh GAM menang dalam pilkada 11 Desember lalu, sebaiknya nama GAM tidak dipakai lagi. Mari kita kubur masa lalu dan kita tatap masa depan,” ujar Agung mantap di Jakarta, sehari usai Pilkada di Aceh.
Protes AMM
Bisa dimengerti jika kubu nasionalis Indonesia meminta GAM segera dikuburkan. Mereka alergi mendengar kata merdeka digaungkan. Selain itu, simbol-simbol yang berkaitan dengan GAMseperti benderaharam dipamerkan atau dipakai. Tetapi, gelombang permintaan penolakan simbol-simbol GAM ini, seperti pin yang disematkan baju atau bendera GAM yang terdiri dari bulan sabit dengan dua garis hitam di atas dan bawah, juga disuarakan oleh Ketua AMM Pieter Feith.
Feith yang berkebangsaan Belanda ini sangat piawai menggunakan momentun menjelang misi AMM berakhir pada 15 Desember 2006. Dia mengamini pendapat para politikus Jakarta, yang terlalu mempersoalkan simbolisme. “Dalam MoU poin 4.2 tentang Pengaturan Keamanan disebutkan GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 personel pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini,” ucapnya telak saat jumpa pers terakhir di Kantor AMM di Banda Aceh pada 14 Desember 2006.
Nada keras Feith semakin nyaring digaungkan setelah Irwandi dan Nazar unggul dalam perolehan suara pilkada 11 Desember lalu. Feith menyebutkan, jika merujuk pada salah satu pasal dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Gubernur Aceh adalah perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan simbol GAM bertentangan dengan konstitusi dan semangat MoU Helsinki. “Saya yakin, jika sudah ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada Gubernur Aceh, maka Irwandi-Nazar beserta anggota GAM lainnya akan menaati hal itu,” ungkap Feith serius.
Feith menyebutkan, pihaknya sudah memiliki kesepakatan umum dengan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud bahwa penggunaan simbol-simbol GAM harus dihindari. Pasalnya, pemakaian simbol ini bisa meningkatkan birahi keraguan dari komitmen GAM terhadap proses perdamaian. “Kami rasa, Irwandi juga tahu mengenai hal itu,” ingat Ketua AMM.
Selain mengkritik, secara jantan Feith pun memuji GAM yang berhasil merayakan Milad 4 Desember 2006 tanpa menimbulkan gejolak. Pria berbadan besar ini juga tidak menepis bahwa dalam MoU Helsinki disepakati Aceh berhak mendapatkan bendera, simbol, dan logo sendiri. Menyangkut simbol-simbol itu, terutama soal bendera dan logo, Feith menyatakan hal ini sebaiknya dibahas oleh Pemda Aceh. “Tapi itu tidak perlu harus bendera GAM,” ingatnya.
GAM Tutup Buku
Tak pelak, tudingan dan tuntutan untuk membubarkan GAM menggiring birahi anggota GAM angkat bicara. Irwandi Yusuf yang terpilih sebagai gubernur Aceh meminta semua kalangan tidak terlalu mempersoalkan pemakaian logo dan simbol GAM oleh kadernya. “Ini bukan atribut militer. Ini cuma simbol organisasi,” bantah “alumnus” Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, ini.
Irwandi menyesalkan sikap Feith mengungkit-ungkit pembubaran GAM. Sebaliknya, dokter hewan ini beralibi, secara alamiah nantinya GAM juga bakal bubar dengan sendirinya. Dia bahkan balik menunding sikap Ketua AMM yang mempersoalkan masalah remeh temeh. Padahal, ada hal lebih besar yangmenurut Irwandiperlu disorot AMM; seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Penyelesaian Klaim. Dalam pantauan Aceh Magazine, hingga AMM bubar pada 15 Desember 2005, kedua hal ini memang tak berhasil dituntaskan oleh Feith dan rekan-rekannya di AMM.
Irwandi benar-benar terlihat kesal. “Yang bisa membubarkan GAM ya GAM itu sendiri,” ujarnya kepada Idrus Saputra dari Aceh Magazine. “Dalam MoU tidak disebutkan pembubaran GAM. Yang ada pembubaran sayap militer GAM dan itu sudah dilaksanakan pada 27 Desember 2005,” terang Irwandi, lagi.
Begitu pun, kekesalan Irwandi tampaknya belum usai. Menanggapi polemik yang tanpa ujung ini ia pun kemudian menggugat. “Apakah dengan naiknya bendera GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur?” tanyanya, retoris. (Baca Interviu Irwandi Yusuf: Hubungan Saya dengan Swedia Susah).
Mantan TNA, Anggota GAM
Di tingkat arus bawah sendiri tak permah terbersit keinginan untuk membubarkan diri. “Jangan sebut kami mantan GAM. Yang benar kami mantan TNA,” ungkap seorang mantan kombatan GAM kepada Aceh Magazine. Dalam struktur GAM, TNA atawa Teuntara Neugara Aceh memang telah dilebur menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).
Jadi, apalah arti sebuah nama. Kembali mengutip Irwandi Yusuf; apakah mengangkasanya bendera atau simbol GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur. Simbol dalam format pin, bendera, atau lambangsuka atau tidakmemang dapat menimbulkan romantisme masa lalu yang dikhawatirkan membangkitkan kembali birahi melepaskan diri dari induk di Jakarta. Tetapi bukankah GAM telah menutup kotak peluru dan kini menerima kotak suara?
Pasca Pilkada 11 Desember 2006, banyak pihak kini sepakat untuk tidak terperosok pada wacana dan simbolifikasi sehingga melalaikan persoalan sosial dan hal-hal subtansi yang kini sedang bergulir; pengangguran, kemiskinan, korban tsunami, dan korban konflik. Ini, tentu, soal-soal yang lebih membutuhkan perhatian dan solusi konkrit. Apalagi, dalam perjanjian damai Helsinki memang tidak lagi ada sebutir kata ‘merdeka’ pun bercokol di sana.
Jadi, masih perlukah mempersoalkan simbol atau sebuah nama ketika rakyat butuh makan dan lapangan kerja? (IDRUS SAPUTRA/MURIZAL HAMZAH)
Maka, ‘apalah arti sebuah nama’ tentu menemukan maknanya. Sebut saja, misalnya, nama yang diangkat dari sebuah akronim: GAM! Maka, pemikiran masyarakat yang tinggal di Aceh pasti melebar kepada sebuah organisasi legendaris; yakni Gerakan Aceh Merdeka. Itu berarti, nama memiliki makna.
Pasca perjanjian damai Helsinki, kata-kata ‘merdeka’ yang disimbolkan dengan huruf M pada deretan font pembentuk kata GAM menjadi sesuatu yang menimbulkan kegerahan buat kalangan tertentu. Ada nuansa kalau kata-kata itu tak lagi boleh beredar di atmosfir Aceh. Desakan untuk membubarkan GAM pun kemudian disuarakan oleh kaum nasionalis di Jakarta maupun anggota dewan dari Gedung Senayan.
Terus terang, ini bukan sodokan pertama terhadap GAM. Suara miring dan ambisi membubarkan organisasi bentukan Hasan Tiro ini sudah dilontarkan jauh-jauh hari, bahkan begitu perjanjian Helsinki usai ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh Malik Mahmud mewakili GAM dan Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Republik Indonesia (RI).
“Jika sekarang GAM dibubarkan, dengan siapa nanti RI berunding jika ada masalah?” mantan Panglima GAM Wilayah Pasee Sofyan Dawood, balik bertanya ketika itu. Ia menganggap keliru jika pemerintah RI membubarkan GAM. Sebuah pertanyaan retoris yang logis sekaligus mengelikan dari seorang Sofyan.
Gebrakan menuntut GAM compang-camping memang tak surut dilancarkan. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil mengatakan setelah perdamaian abadi terwujud di Aceh, maka tidak ada lagi organisasi GAM. “Sekarang ini memang GAM adalah partner kita, sampai semua prosedur berjalan dengan baik. Tetapi nanti, kalau perdamaian abadi sudah terwujud di Aceh dan selesai semuanya, GAM tentu tidak perlu lagi,” tegasnya kepada wartawan di Banda Aceh, 2 September 2005.
Menteri kelahiran Aceh Timur, ini memberi isyarat setelah GAM ikut dalam partisipasi politikseperti pesta demokrasi pemilihan kepala daerah; gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikotamaka tidak ada lagi lakab Gerakan Aceh Merdeka. Dia menambahkan tidak ada masalah kalau GAM berubah nama menjadi Gerakan Aceh Makmur atau Gerakan Aceh Membangun. Yang tidak boleh karena dianggap berkategori haram alias sudah di atas level makruh dalam tataran kebangsaanadalah menabalkan kata ‘merdeka’! Jalinan tuntutan ini pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang berfatwa GAM tidak perlu ada lagi dan harus bubar setelah semua poin persetujuan Nota Kesepahaman Helsinki Perdamaian Aceh dipenuhi. “Begitu semua poin persetujuan itu jalan, GAM tak dibutuhkan lagi,” kata Kalla di Istana Wakil Presiden.
Alergi Merdeka
Setali tiga uang. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi pun meminta GAM untuk dibubarkan. Muladi beralibi, pembubaran GAM diperlukan agar tidak ada lagi keraguan berbagai komponen bangsa terhadap komitmen keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atawa NKRI oleh kalangan GAM. Dirinya sendiri, terang mantan Rektor Universitas Diponogoro Semarang, ini tidak sedikit pun meragukan komitmen ke-NKRI-an GAM pascaperjanjian damai Helsinki. Secara khusus ia pun haqqul yakin terhadap mantan perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai representasi GAM Irwandi Yusuf dalam hal komitmen kebangsaan ini. Muladi bahkan menyatakan sangat siap mendukung kepemimpinan mantan Staf khu¬sus Psy War Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka sayap militer GAMyang juga dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, itu sebagai gubernur Aceh yang terpilih secara demokratis. Pun begitu, Muladi tetap mempersoalkan kata ‘merdeka’ yang disandang GAM. Pria bertubuh besar ini beralibi.
Dari nama yang disandang, kata Muladi, GAM mengesankan seolah-olah masih mengobarkan semangat separatisme yang sangat bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Karenanya harus diganti atau dibubarkan, meski itu bukan bagian dari kesepakatan Helsinki. “Mungkin sebagai kenang-kenangan, bolehlah. Perkumpulan eks GAM. Tapi jangan pakai nama itu lagi. Gerakan Aceh Merdeka, tidak ada ceritanya lagi di Indonesia,” ujar pakar hukum tata negara ini pada 13 Desember 2005.
Ibarat paduan suara, lirik senada juga didengungkan Ketua DPR RI Agung Laksono. “Sekarang ini setelah mantan tokoh GAM menang dalam pilkada 11 Desember lalu, sebaiknya nama GAM tidak dipakai lagi. Mari kita kubur masa lalu dan kita tatap masa depan,” ujar Agung mantap di Jakarta, sehari usai Pilkada di Aceh.
Protes AMM
Bisa dimengerti jika kubu nasionalis Indonesia meminta GAM segera dikuburkan. Mereka alergi mendengar kata merdeka digaungkan. Selain itu, simbol-simbol yang berkaitan dengan GAMseperti benderaharam dipamerkan atau dipakai. Tetapi, gelombang permintaan penolakan simbol-simbol GAM ini, seperti pin yang disematkan baju atau bendera GAM yang terdiri dari bulan sabit dengan dua garis hitam di atas dan bawah, juga disuarakan oleh Ketua AMM Pieter Feith.
Feith yang berkebangsaan Belanda ini sangat piawai menggunakan momentun menjelang misi AMM berakhir pada 15 Desember 2006. Dia mengamini pendapat para politikus Jakarta, yang terlalu mempersoalkan simbolisme. “Dalam MoU poin 4.2 tentang Pengaturan Keamanan disebutkan GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 personel pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini,” ucapnya telak saat jumpa pers terakhir di Kantor AMM di Banda Aceh pada 14 Desember 2006.
Nada keras Feith semakin nyaring digaungkan setelah Irwandi dan Nazar unggul dalam perolehan suara pilkada 11 Desember lalu. Feith menyebutkan, jika merujuk pada salah satu pasal dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Gubernur Aceh adalah perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan simbol GAM bertentangan dengan konstitusi dan semangat MoU Helsinki. “Saya yakin, jika sudah ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada Gubernur Aceh, maka Irwandi-Nazar beserta anggota GAM lainnya akan menaati hal itu,” ungkap Feith serius.
Feith menyebutkan, pihaknya sudah memiliki kesepakatan umum dengan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud bahwa penggunaan simbol-simbol GAM harus dihindari. Pasalnya, pemakaian simbol ini bisa meningkatkan birahi keraguan dari komitmen GAM terhadap proses perdamaian. “Kami rasa, Irwandi juga tahu mengenai hal itu,” ingat Ketua AMM.
Selain mengkritik, secara jantan Feith pun memuji GAM yang berhasil merayakan Milad 4 Desember 2006 tanpa menimbulkan gejolak. Pria berbadan besar ini juga tidak menepis bahwa dalam MoU Helsinki disepakati Aceh berhak mendapatkan bendera, simbol, dan logo sendiri. Menyangkut simbol-simbol itu, terutama soal bendera dan logo, Feith menyatakan hal ini sebaiknya dibahas oleh Pemda Aceh. “Tapi itu tidak perlu harus bendera GAM,” ingatnya.
GAM Tutup Buku
Tak pelak, tudingan dan tuntutan untuk membubarkan GAM menggiring birahi anggota GAM angkat bicara. Irwandi Yusuf yang terpilih sebagai gubernur Aceh meminta semua kalangan tidak terlalu mempersoalkan pemakaian logo dan simbol GAM oleh kadernya. “Ini bukan atribut militer. Ini cuma simbol organisasi,” bantah “alumnus” Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, ini.
Irwandi menyesalkan sikap Feith mengungkit-ungkit pembubaran GAM. Sebaliknya, dokter hewan ini beralibi, secara alamiah nantinya GAM juga bakal bubar dengan sendirinya. Dia bahkan balik menunding sikap Ketua AMM yang mempersoalkan masalah remeh temeh. Padahal, ada hal lebih besar yangmenurut Irwandiperlu disorot AMM; seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Penyelesaian Klaim. Dalam pantauan Aceh Magazine, hingga AMM bubar pada 15 Desember 2005, kedua hal ini memang tak berhasil dituntaskan oleh Feith dan rekan-rekannya di AMM.
Irwandi benar-benar terlihat kesal. “Yang bisa membubarkan GAM ya GAM itu sendiri,” ujarnya kepada Idrus Saputra dari Aceh Magazine. “Dalam MoU tidak disebutkan pembubaran GAM. Yang ada pembubaran sayap militer GAM dan itu sudah dilaksanakan pada 27 Desember 2005,” terang Irwandi, lagi.
Begitu pun, kekesalan Irwandi tampaknya belum usai. Menanggapi polemik yang tanpa ujung ini ia pun kemudian menggugat. “Apakah dengan naiknya bendera GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur?” tanyanya, retoris. (Baca Interviu Irwandi Yusuf: Hubungan Saya dengan Swedia Susah).
Mantan TNA, Anggota GAM
Di tingkat arus bawah sendiri tak permah terbersit keinginan untuk membubarkan diri. “Jangan sebut kami mantan GAM. Yang benar kami mantan TNA,” ungkap seorang mantan kombatan GAM kepada Aceh Magazine. Dalam struktur GAM, TNA atawa Teuntara Neugara Aceh memang telah dilebur menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).
Jadi, apalah arti sebuah nama. Kembali mengutip Irwandi Yusuf; apakah mengangkasanya bendera atau simbol GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur. Simbol dalam format pin, bendera, atau lambangsuka atau tidakmemang dapat menimbulkan romantisme masa lalu yang dikhawatirkan membangkitkan kembali birahi melepaskan diri dari induk di Jakarta. Tetapi bukankah GAM telah menutup kotak peluru dan kini menerima kotak suara?
Pasca Pilkada 11 Desember 2006, banyak pihak kini sepakat untuk tidak terperosok pada wacana dan simbolifikasi sehingga melalaikan persoalan sosial dan hal-hal subtansi yang kini sedang bergulir; pengangguran, kemiskinan, korban tsunami, dan korban konflik. Ini, tentu, soal-soal yang lebih membutuhkan perhatian dan solusi konkrit. Apalagi, dalam perjanjian damai Helsinki memang tidak lagi ada sebutir kata ‘merdeka’ pun bercokol di sana.
Jadi, masih perlukah mempersoalkan simbol atau sebuah nama ketika rakyat butuh makan dan lapangan kerja? (IDRUS SAPUTRA/MURIZAL HAMZAH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar