Tunggu apa Lagi Buruan Cepat

Bisnis Online

Lencana Facebook

Game Online Libertyreserve

HeadTail

Head and Tail WIN

Data ini merupakan data real yang muncul di HeadTail

Tgl Ganjil

Tgl Genap

WIN BET

No

Win

No.

Win

Percent (%)

WIN

51 Tail 56 Tail

90

Tail
31 Tail 15 Head

10

Min BET
29 Tail 14 Tail

90

Tail
45 Head 15 Head

90

Head
45 Head 46 Head

90

Head
53 Tail 42 Head

10

Min BET
39 Tail 55 Tail

90

Tail
50 Head 27 Head

90

Head
55 Tail 57 Head

10

Min BET
01 Tail 58 Head

10

Min BET
29 Tail 57 Head

10

Min BET
10 Tail 04 Tail

90

Tail
22 Tail 30 Head

10

Min BET
45 Head 55 Tail

10

Min BET
40 Tail 21 Head

10

Min BET
45 Head 36 Head

90

Head
46 Head 54 Head

90

Head
17 Tail 38 Head

10

Min BET
02 Head 29 Tail

10

Min BET
48 Tail 24 Head

10

Min BET
32 Head 59 Tail

10

Min BET
23 Tail 01 Tail

90

Tail
22 Tail 27 Head

10

Min BET
36 Head 31 Tail

10

Min BET
24 Head 11 Head

90

Head
36 Head 07 Tail

10

Min BET
59 Tail 59 Tail

100

Tail
26 Tail 57 Head

10

Min BET
11 Tail 03 Head

10

Min BET
19 Head 27 Head

90

Head
23 Tail 57 Head

10

Min BET
59 Tail 00 Head

10

Min BET
14 Tail 34 Head

10

Min BET
03 Tail 30 Head

10

Min BET
56 Tail 25 Tail

90

Tail
40 Tail 48 Tail

90

Tail
16 Tail 42 Head

10

Min BET
48 Tail 52 Tail

90

Tail
24 Head 34 Head

90

Head
33 Tail 57 Head

10

Min BET
21 Head 4 Tail

10

Min BET
16 Tail 49 Tail

90

Tail
18 Head 13 Tail

10

Min BET
07 Tail 02 Head

10

Min BET
22 Tail 58 Head

10

Min BET
43 Tail 13 Tail

10

Tail
09 Head 34 Head

90

Head
01 Tail 48 Tail

90

Tail
01 Tail 22 Tail

90

Tail
46 Head 03 Tail

10

Min BET
02 Head 23 Tail

10

Min BET
25 Tail 38 Head

10

Min BET
10 Tail 56 Tail

90

Tail
42 Head 29 Tail

10

Min BET
06 Head 00 Head

90

Head
36 Head 51 Tail

10

Min BET
08 Tail 18 Head

10

Min BET

Win

Tail

Win

Head

Spl 35 x Spl 31 x
JLH 51,20% Jlh 48,80%
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada tanggal ganjil maka peluang yang paling besar muncul Tail dan pada tanggal genap peluang muncul Head sangat besar, Cara memainkan game ini tidak perlu mendaftar karena game ini jika anda BET dengan benar langsung akan membayar ke Liberty Reserve anda. Cara Memainkan :
  • Anda harus perhatikan di HISTORY nya apa tanggal ganjil atau genap
  • Buka 2 buah lembar dimana yang satu untuk melihat HISTORI dan yang kedua untuk BET
  • Misalkan hari ini adalah tanggal ganjil, HISTORY BET muncul angka 51 maka kemungkinan Muncul berikutnya Tail (record pertama yang direkom oleh Paul Rodrigo dan tidak ada hubungan dengan moneyvestasi)
  • Jika hari ini tanggal ganjil, namun kedua data menampilkan data yang sama, maka pilih data yang berlawanan tanggal.
  • Jangan lupa Refresh halaman HISTORY untuk melihat data UPDATE agar prediksinya tepat
  • Dosa dari permainan ini tanggung sendiri
  • Record tersebut telah dihitung dengan rumus Randomly Agregat selama 7 bulan dengan tingkat keakuratan 95%
  • Moneyvestasi tidak bertanggungjawab terhadap WIN atau LOSE yang anda derita dalam game ini, karena Iklan ini dibayar oleh mereka $1300
  • Jangan BET kalau gak sanggup tahan RESIKO (DISCLAMER)
  • Iklan ini dipasang oleh PAUL RODRIGO asal Mexico

MY Slide

Senin, 25 Juni 2007

Hidup Saat Dikubur



Melihat kepalaku bergerak di dalam kubur, beberapa petugas berlarian untuk merapat. Aku yakin, pastilah ada di antara mereka yang terkejut dan merasa ngeri, melihat ada mayat yang tiba-tiba bangkit dari kubur.

NAMAKU Mahyuddin, umur 57 tahun. Warga Punge Jurong, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh, tempat dulunya aku bermukim, memanggilku “Udin Serambi”. Soalnya, sejak Serambi Indonesia berdiri tahun 1989 aku sudah bekerja di harian ini sebagai sopir. Aku kerap bepergian ke luar kota mengantar koran Serambi kepada para agen.

Tapi setelah tsunami menghantam desa tempat kami tinggal, pada 26 Desember 2004, kami yang tersisa dari bencana dahsyat itu pindah ke Desa Cot Masjid, Luengbata, Banda Aceh, daerah yang tak terkena gempuran tsunami.

Gelombang raksasa itu benar-benar telah mengubah hidupku. Istri dan satu anak gadisku hilang disapu tsunami. Begitu pula rumah kami di Punge Jurong. Sekarang aku alih profesi, sebagai tukang bangunan, sekaligus menjadi bilal masjid. Bersama tiga anak lelakiku yang selamat, kami memulai hidup baru di Cot Masjid, di rumah istri baruku.
---


Hingga kini masih terbayang di benakku betapa dahsyatnya bencana itu. Begitu gempa kuat pada Mingggu pagi, 26 Desember 2004, itu reda, aku langsung ke luar rumah, menuju jalan raya. Warga Punge Jurong lainnya pun berbuat begitu.

Ketika itu kami tak begitu panik, cuma cemas. Tapi ketika rekanku menawarkan rokok dan hendak kusulut, saat itulah kepanikan mulai terjadi. Soalnya, beberapa orang dari arah Ulee Lheue berlarian sambil berteriak, “Lari, lari, air laut naik!”

Sekonyong-konyong, ribuan orang berlarian. Dari lorong-lorong yang sempit ramai orang yang bergegas mencapai jalan raya, kemudian berlari menuju kota. Suasana saat itu sungguh seperti lomba lari bagi para pejalan kaki dan bagaikan ajang balapan bagi pengemudi kendaraan. Tanpa peduli pada mereka yang jatuh tersungkur, orang terus berlarian kearah kota, menjauh dari pantai. Pengendara juga memacu kendaraannya sekencang-kencangnya. Di sepanjang jalan itu, ketika tsunami belum menerpa, sudah beberapa orang tergeletak, karena ketabrak ataupun terinjak.

Sambil lari, aku menoleh ke belakang, ke arah pantai Ulee Lheue. Masya Allah, gelombang hitam setinggi pohon asam jawa tampak dari kejauhan. Dinding air itu demikian menyeramkan. Derunya membahana.

Hanya dalam hitungan menit, gelombang dari laut itu merangsek ke arah kota dan membenamkan semua manusia, rumah, toko, dan entah apa lagi yang dilindasnya.
Arus ombak yang deras itu pun akhir­nya tiba ke di tempatku yang sedang berupaya lari, langsung menghantam dan menggulung tubuhku. Berkali-kali aku digulung, sampai kemudian terbenam di dalam air. Beberapa saat kemudian, aku merasa sudah tersangkut pada fondasi rumah orang yang dinding maupun atapnya sudah rubuh.

Dari dasar fondasi rumah itu tiba-tiba ombak melemparkanku kembali ke permukaan. Kepalaku membentur mobil reo milik Brimob yang terapung-apung.

Dalam keadaan kritis, karena gelombang belum surut, terlihat olehku atap rumah. Aku coba gapai dan berhasil naik ke atasnya. Setiba di atas atap barulah aku sadar bahwa tubuhku tak lagi ditutupi sehelai benang pun. Pakaianku tanggal diporoti air yang berputar.

Ketika air mulai surut perlahan, aku berdoa agar diberi pertolongan oleh Allah, minimal dapat mengenakan kain untuk membalut tubuh. Tak lama kemudian, tak jauh dari tempat aku bersandar, hanyut kain jemuran, kemudian tersangkut. Dengan mudah dapat kuraih. Alhamdulillah, kain yang tersangkut itu ternyata sehelai celana puntung.

Setelah menutup aurat dengan celana puntung itu, aku turun dari atap rumah. Pemandangan di bawah sangat menggidikkan bulu roma. Mayat-mayat berserakan. Tubuh mereka terbalut lumpur yang mengental. Aku amati, tak ada satu pun lagi yang bergerak. Semuanya mati tragis.

Aku mulai menapaki jalan Punge yang penuh sampah, puing, bahkan mayat yang bergelimpangan. Tujuanku hanya satu: berjalan ke Masjid Raya Baiturrahman di jantung Kota Banda Aceh.

Dengan fisik yang mulai lemah, aku berjalan tertatih-tatih, tanpa baju. Untung matahari tak begitu terik. Orang-orang yang berpapasan denganku wajahnya penuh luka, duka, dan lara. Sesampainya di samping Masjid Raya Baiturahman, karena lelah berjalan dan digulung tsunami, aku jatuh terkapar. Orang-orang menyebutku pingsan. Yang jelas, setelah itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi.
---





Belakangan, aku tahu sebuah cerita unik tentang diriku. Setelah jatuh pingsan di pekarangan masjid itu. Tim evakuasi mengira aku sudah mati. Memang, di pekarangan, bahkan di dalam masjid raya saat itu, banyak sekali mayat bergelimpangan.

Karena dikira sudah meninggal, pada hari kedua tsunami jasadku diangkut naik truk, kemudian ditaruh di Bundaran Lambaro, Aceh Besar, tempat ribuan mayat dari Banda Aceh dan Aceh Besar ditumpuk pada hari-hari pertama hingga keenam tsunami. Di bundaran itulah aku terbaring selama tiga hari di antara mayat-mayat. Setelah itu, jasadku diangkut bersama tubuh-tubuh lainnya ke kawasan Ulee Titi, Siron, Aceh Besar, untuk dimakamkan.

Kata seorang anggota tim evakuasi, jasadku sempat dilemparkan dari truk, kemudian ditanam bersama mayat-mayat. Waktu itu tubuhku sudah ditimbun dengan tanah, hanya sebatas leher yang masih tersisa. Tatkala operator alat berat (becho) untuk terakhir kali akan menjatuhkan tanah menimbun bagian kepalaku, Allah berkehendak lain. Aku tersadar dari pingsan atau bahkan dari mati suri. Betapa terkejutnya aku, melihat di sekelilingku mayat semua.

Aku juga melihat ada beberapa petugas yang mengurus penguburan mayat secara massal di tempat itu. Saat itu tiba-tiba kepalaku dapat kugerakkan, sedangkan kaki dan tangan tidak, karena sudah terbenam dalam timbunan tanah.

Melihat kepalaku bergerak di dalam kubur, beberapa petugas berlarian untuk merapat. Aku yakin, pastilah ada di antara mereka yang terkejut dan merasa ngeri, melihat ada mayat yang tiba-tiba bangkit dari kubur.

Setelah sadar, aku diangkat dari tumpukan mayat, kemudian dibawa ke Pukesmas Lambaro. Di sini aku mendapat pertolongan medis, bahkan diinfus.

Menurut cerita dari anggota tim evakuasi itu, di Bundaran Lambaro aku dijejerkan dalam tumpukan mayat yang ratusan jumlahnya. Tiga hari digeletakkan di situ, barulah aku diangkut ke kuburan massal yang hanya berjarak 800 meter dari tempat mayat ditumpuk.

Ketika itu sudah memasuki hari kelima tsunami, tepatnya hari Jumat. Sebelumnya, sudah banyak mayat yang duluan dikubur, sehingga saat hendak membungkus tubuhku dan beberapa mayat lainnya di tempat penumpukan itu stok kain kafan maupun stok kantung mayat, habis.

Sekarang aku baru tahu hikmah di balik ketiadaan kain kafan dan kantong mayat pada hari itu. Coba kalau tubuhku sempat dibungkus, pastilah tidak kelihatan, dan aku sudah langsung dikubur hidup-hidup.
---


Dalam keadaan kritis di Pukesmas Lambaro, aku mendapat perhatian dari banyak pihak. Soalnya, telanjur tersiar kabar bahwa ada korban tsunami yang dikira sudah mati, tiba-tiba hidup saat dikubur.

Seingatku, yang paling banyak menjenguk selama lima hari aku dirawat di Pukesmas Lambaro adalah orang dari luar negeri, seperti Thailand, Korea, Malaysia, serta bule dari negara lainnya.

Aku juga masih ingat secara samar-samar, saat aku dirawat seorang warga negara Thailand yang baik hati memberiku baju.

Kondisi tubuhku saat itu sangat memprihatinkan, karena luka serius. Kaki kiriku berlubang, jidat dan kepalaku juga mengalami luka sobek yang cukup besar.

Pada hari kesepuluh dirawat di Puskesmas tersebut barulah anak laki-lakiku mendapati diriku sedang dirawat di Puskesmas tersebut. Saat bertemu, kami bertangisan sejadi-jadinya, karena masing-masing mengira tak bakal pernah bertemu lagi. Dari anakku itulah aku tahu bahwa anak gadisku bersama ibunya hilang tak berjejak. Sedangkan dua anak lelakiku lainnya, masih selamat. Alhamdulillah, masih ada anak keturunanku yang tersisa.

Anakku membawa aku pulang ke rumah saudara di Ketapang, Banda Aceh. Saat beranjak hendak meninggalkan Puskesmas, seorang warga Korea memberiku sebuah tongkat yang sampai sekarang masih kusimpan.
---


Sekarang, setelah setahun lebih tragedi tsunami berlalu, aku mulai menata hidup baru. Beberapa bulan lalu aku menikah dengan wanita asal Desa Cot Masjid Lueng Bata, Banda Aceh.

Memang sudah kehendak Allah, aku dapat hidup kembali setelah pingsan atau bahkan mati suri berhari-hari. Atas bimbingan dan restu Ilahi pula aku mendapat jodoh di sini. Bersama istri baru ini kutemukan ketenangan dan kedamaian. Apalagi ketiga anak laki-lakiku pun ikut tinggal bersama kami. Semua kami hidup rukun. Sekarang aku bekerja sebagai tukang bangunan di Punge Jurong. Rumah lamaku di kawasan ini juga mulai dibangun.

Kini, aku semakin mendekatkan diri ke jalan Ilahi. Tak pernah lagi bolos beribadah, bahkan kuabdikan diri sebagai bilal masjid.

NOTA KESEPAHAMAN RI-GAM DI HELSINKI


Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang
digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Nota Kesepahaman
antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menegaskan komitmen mereka untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi sehingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Para pihak sangat yakin bahwa hanya dengan penyelesaian damai atas konflik tersebut yang akan memungkinkan pembangunan kembali Aceh pasca Tsunami tanggal 26 Desember 2005 dapat mencapai kemajuan dan keberhasilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya. Nota Kesepahaman ini memerinci isi persetujuan yang dicapai dan prinsip-prinsip yang akan memandu proses transformasi. Untuk maksud ini Pemerintah RI dan GAM menyepakati hal-hal berikut:

1. Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh
1.1. Undang-undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh

1.1.1. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006.

1.1.2. Undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

b) Persetujuan-persetujuan internasional yang diberlakukan oleh Pemerintah Indonesia yang terkait dengan hal ikhwal kepentingan khusus Aceh akan berlaku dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

c) Keputusan-keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terkait dengan Aceh akan dilakukan dengan konsultasi dan persetujuan legislatif Aceh.

d) Kebijakan-kebijakan administratif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia berkaitan dengan Aceh akan dilaksanakan dengan konsultasi dan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.1.3. Nama Aceh dan gelar pejabat senior yang dipilih akan ditentukan oleh legislatif Aceh setelah pemilihan umum yang akan datang.

1.1.4. Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli 1956.

1.1.5. Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.

1.1.6. Kanun Aceh akan disusun kembali untuk Aceh dengan menghormati tradisi sejarah dan adat istiadat rakyat Aceh serta mencerminkan kebutuhan hukum terkini Aceh.

1.1.7. Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya.

1.2. Partisipasi Politik

1.2.1 Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.

1.2.2 Dengan penandatanganan Nota Kesepahaman ini, rakyat Aceh akan memiliki hak menentukan calon-calon untuk posisi semua pejabat yang dipilih untuk mengikuti pemilihan di Aceh pada bulan April 2006 dan selanjutnya.

1.2.3 Pemilihan lokal yang bebas dan adil akan diselenggarakan di bawah undang-undang baru tentang Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh untuk memilih Kepala Pemerintah Aceh dan pejabat terpilih lainnya pada bulan April 2006 serta untuk memilih anggota legislatif Aceh pada tahun 2009.

1.2.4 Sampai tahun 2009 legislatif (DPRD) Aceh tidak berkewenangan untuk mengesahkan peraturan perundang-undangan apapun tanpa persetujuan Kepala Pemerintah Aceh.

1.2.5 Semua penduduk Aceh akan diberikan kartu identitas baru yang biasa sebelum pemilihan pada bulan April 2006.

1.2.6 Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia.

1.2.7 Pemantau dari luar akan diundang untuk memantau pemilihan di Aceh. Pemilihan lokal bisa diselenggarakan dengan bantuan teknis dari luar.

1.2.8 Akan adanya transparansi penuh dalam dana kampanye.

1.3. Ekonomi
1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui hutang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

1.3.3. Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

1.3.4. Aceh berhak menguasai 70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.

1.3.5. Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.

1.3.6. Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif ataupun hambatan lainnya.

1.3.7. Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.

1.3.8. Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan pengalokasian pendapatan antara Pemerintah Pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasil-hasilnya kepada Kepala Pemerintah Aceh.

1.3.9. GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pasca-Tsunami (BRR).

1.4. Peraturan Perundang-undangan
1.4.1. Pemisahan kekuasaan antara badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif akan diakui.

1.4.2. Legislatif Aceh akan merumuskan kembali ketentuan hukum bagi Aceh berdasarkan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

1.4.3. Suatu sistem peradilan yang tidak memihak dan independen, termasuk pengadilan tinggi, dibentuk di Aceh di dalam sistem peradilan Republik Indonesia.

1.4.4. Pengangkatan Kepala Kepolisian Aceh dan Kepala Kejaksaan Tinggi harus mendapatkan persetujuan Kepala Pemerintah Aceh. Penerimaan (rekruitmen) dan pelatihan anggota kepolisian organik dan penuntut umum.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatanganidi Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

akan dilakukan dengan berkonsultasi dan atas persetujuan Kepala Pemerintahan Aceh, sesuai dengan standar nasional yang berlaku.

1.4.5. Semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh.

2. Hak Asasi Manusia

2.1. Pemerintah RI akan mematuhi Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dan mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2. Sebuah Pengadilan Hak Asasi Manusia akan dibentuk untuk Aceh.

2.3. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi.

3. Amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat

3.1. Amnesti

3.1.1. Pemerintah RI, sesuai dengan prosedur konstitusional, akan memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.
3.1.2. Narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik akan dibebaskan tanpa syarat secepat mungkin dan selambat-lambatnya 15 hari sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

3.1.3. Kepala Misi Monitoring akan memutuskan kasus-kasus yang dipersengketakan sesuai dengan nasihat dari penasihat hukum Misi Monitoring.

3.1.4. Penggunaan senjata oleh personil GAM setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman dan hal itu akan membatalkan yang bersangkutan memperoleh amnesti.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

3.2. Reintegrasi kedalam masyarakat.

3.2.1. Sebagai warga negara Republik Indonesia, semua orang yang telah diberikan amnesti atau dibebaskan dari Lembaga Permasyarakatan atau tempat penahanan lainnya akan memperoleh semua hak-hak politik, ekonomi dan sosial serta hak untuk berpartisipasi secara bebas dalam proses politik baik di Aceh maupun pada tingkat nasional.

3.2.2. Orang-orang yang selama konflik telah menanggalkan kewarganegaraan Republik Indonesia berhak untuk mendapatkan kembali kewarganegaraan mereka.

3.2.3. Pemerintah RI dan Pemerintah Aceh akan melakukan upaya untuk membantu orang-orang yang terlibat dalam kegiatan GAM guna memperlancar reintegrasi mereka ke dalam masyarakat. Langkah-langkah tersebut mencakup pemberian kemudahan ekonomi bagi mantan pasukan GAM, tahanan politik yang telah memperoleh amnesti dan masyarakat yang terkena dampak. Suatu Dana Reintegrasi di bawah kewenangan Pemerintah Aceh akan dibentuk.

3.2.4. Pemerintah RI akan mengalokasikan dana bagi rehabilitasi harta benda publik dan perorangan yang hancur atau rusak akibat konflik untuk dikelola oleh Pemerintah Aceh.

3.2.5. Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah pertanian dan dana yang memadai kepada Pemerintah Aceh dengan tujuan untuk memperlancar reintegrasi mantan pasukan GAM ke dalam masyarakat dan kompensasi bagi tahanan politik dan kalangan sipil yang terkena dampak. Pemerintah Aceh akan memanfaatkan tanah dan dana sebagai berikut:

a) Semua mantan pasukan GAM akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila mereka tidak mampu bekerja.
b) Semua tahanan politik yang memperoleh amnesti akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.
c) Semua rakyat sipil yang dapat menunjukkan kerugian yang jelas akibat konflik akan menerima alokasi tanah pertanian yang pantas, pekerjaan, atau jaminan sosial yang layak dari Pemerintah Aceh apabila tidak mampu bekerja.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

3.2.6. Pemerintah Aceh dan Pemerintah RI akan membentuk Komisi Bersama Penyelesaian Klaim untuk menangani klaim-klaim yang tidak terselesaikan.

3.2.7. Pasukan GAM akan memiliki hak untuk memperoleh pekerjaan sebagai polisi dan tentara organik di Aceh tanpa diskriminasi dan sesuai dengan standar nasional.

4. Pengaturan Keamanan
4.1. Semua aksi kekerasan antara pihak-pihak akan berakhir selambat-lambatnya pada saat penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.2. GAM melakukan demobilisasi atas semua 3000 pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini.

4.3. GAM melakukan decommissioning semua senjata, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh para anggota dalam kegiatan GAM dengan bantuan Misi Monitoring Aceh (AMM). GAM sepakat untuk menyerahkan 840 buah senjata.

4.4. Penyerahan persenjataan GAM akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, yang akan dilaksanakan dalam empat tahap, dan diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2005.

4.5. Pemerintah RI akan menarik semua elemen tentara dan polisi non-organik dari Aceh.

4.6. Relokasi tentara dan polisi non-organik akan dimulai pada tanggal 15 September 2005, dan akan dilaksanakan dalam empat tahap sejalan dengan penyerahan senjata GAM, segera setelah setiap tahap diperiksa oleh AMM, dan selesai pada tanggal 31 Desember 2005.

4.7. Jumlah tentara organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 14.700 orang. Jumlah kekuatan polisi organik yang tetap berada di Aceh setelah relokasi adalah 9.100 orang.

4.8. Tidak akan ada pergerakan besar-besaran tentara setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini. Semua pergerakan lebih dari sejumlah satu peleton perlu diberitahukan sebelumnya kepada Kepala Misi Monitoring.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

4.9. Pemerintah RI melakukan pengumpulan semua senjata illegal, amunisi dan alat peledak yang dimiliki oleh setiap kelompok dan pihak-pihak illegal manapun.

4.10. Polisi organik akan bertanggung jawab untuk menjaga hukum dan ketertiban di Aceh.

4.11. Tentara akan bertanggung jawab menjaga pertahanan eksternal Aceh. Dalam keadaan waktu damai yang normal, hanya tentara organik yang akan berada di Aceh.

4.12. Anggota polisi organik Aceh akan memperoleh pelatihan khusus di Aceh dan di luar negeri dengan penekanan pada penghormatan terhadap hak asasi manusia.

5. Pembentukan Misi Monitoring Aceh

5.1. Misi Monitoring Aceh (AMM) akan dibentuk oleh Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dengan mandat memantau pelaksanaan komitmen para pihak dalam Nota Kesepahaman ini.

5.2. Tugas AMM adalah untuk:

a) memantau demobilisasi GAM dan decomissioning persenjataannya.
b) memantau relokasi tentara dan polisi non-organik.
c) memantau reintegrasi anggota-anggota GAM yang aktif ke dalam masyarakat.
d) memantau situasi hak asasi manusia dan memberikan bantuan dalam bidang ini.
e) memantau proses perubahan peraturan perundang-undangan.
f) memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan.
g) menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini.
h) membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak.

5.3. Status Persetujuan Misi (SoMA) antara Pemerintah RI dan Uni Eropa akan ditandatangani setelah Nota Kesepahaman ini ditandatangani. SoMA mendefinisikan status, hak-hak istimewa, dan kekebalan AMM dan anggota-anggotanya. Negara-negara ASEAN yang ikut serta yang telah diundang oleh Pemerintah RI akan menegaskan secara tertulis penerimaan dan kepatuhan mereka terhadap SoMA dimaksud.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

5.4. Pemerintah RI akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, Pemerintah RI akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta dan menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.5. GAM akan memberikan semua dukungannya bagi pelaksanaan mandat AMM. Dalam kaitan ini, GAM akan menulis surat kepada Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta menyatakan komitmen dan dukungannya kepada AMM.

5.6. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi kerja yang aman, terjaga dan stabil bagi AMM dan menyatakan kerjasamanya secara penuh dengan AMM.

5.7. Tim monitoring memiliki kebebasan bergerak yang tidak terbatas di Aceh. Hanya tugas-tugas yang tercantum dalam rumusan Nota Kesepahaman ini yang akan diterima oleh AMM. Para pihak tidak memiliki veto atas tindakan atau kontrol terhadap kegiatan operasional AMM.

5.8. Pemerintah RI bertanggung jawab atas keamanan semua personil AMM di Indonesia. Personil AMM tidak membawa senjata. Bagaimanapun juga Kepala Misi Monitoring dapat memutuskan perkecualian bahwa patroli tidak akan didampingi oleh pasukan bersenjata Pemerintah RI. Dalam hal ini, Pemerintah RI akan diberitahukan dan Pemerintah RI tidak akan bertanggung jawab atas keamanan patroli tersebut.

5.9. Pemerintah RI akan menyediakan tempat-tempat pengumpulan senjata dan mendukung tim-tim pengumpul senjata bergerak (mobile team) bekerjasama dengan GAM.

5.10. Penghancuran segera akan dilaksanakan setelah pengumpulan senjata dan amunisi. Proses ini akan sepenuhnya didokumentasikan dan dipublikasikan sebagaimana mestinya.

5.11. AMM melapor kepada Kepala Misi Monitoring yang akan memberikan laporan rutin kepada para pihak dan kepada pihak lainnya sebagaimana diperlukan, maupun kepada orang atau kantor yang ditunjuk di Uni Eropa dan negara-negara ASEAN yang ikut serta.

5.12. Setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini setiap pihak akan menunjuk seorang wakil senior untuk menangani semua hal ihwal yang terkait dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini dengan Kepala Misi Monitoring.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

5.13. Para pihak bersepakat atas suatu pemberitahuan prosedur tanggungjawab kepada AMM, termasuk isu-isu militer dan rekonstruksi.

5.14. Pemerintah RI akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan berkaitan dengan pelayanan medis darurat dan perawatan di rumah sakit bagi personil AMM.

5.15. Untuk mendukung transparansi, Pemerintah RI akan mengizinkan akses penuh bagi perwakilan media nasional dan internasional ke Aceh.

6. Penyelesaian perselisihan

6.1. Jika terjadi perselisihan berkaitan dengan pelaksanaan Nota Kesepahaman ini, maka akan segera diselesaikan dengan cara berikut:
a) Sebagai suatu aturan, perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

b) Jika Kepala Misi Monitoring menyimpulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara sebagaimana tersebut di atas, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dari setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak.

c) Dalam kasus-kasus di mana perselisihan tidak dapat diselesaikan melalui salah satu cara sebagaimana disebutkan di atas, Kepala Misi Monitoring akan melaporkan secara langsung kepada Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Republik Indonesia, pimpinan politik GAM dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, serta memberitahu Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa. Setelah berkonsultasi dengan para pihak, Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative akan mengambil keputusan yang mengikat para pihak.

Terjemahan resmi ini telah disetujui oleh delegasi RI dan GAM. Hanya terjemahan resmi ini yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Teks Asli tertulis dalam bahasa Inggris yang ditandatanganidi Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005.

Pemerintah RI dan GAM tidak akan mengambil tindakan yang tidak konsisten dengan rumusan atau semangat Nota Kesepahaman ini.

Ditandatangani dalam rangkap tiga di Helsinki, Finlandia, pada hari Senin, tanggal 15 Agustus 2005.


A.n. Pemerintah Republik Indonesia, A.n. Gerakan Aceh Merdeka,


Hamid Awaluddin Malik Mahmud
Menteri Hukum dan HAM

Pimpinan Disaksikan oleh,
Martti Ahtisaari Mantan
Presiden Finlandia
Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative Fasilitator proses negosiasi

GAM Dibubarkan Di Meja Perundingan


Pernyataan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi dan beberapa elit di Jakarta untuk membubarkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mendapat tanggapan serius dari pakar hukum internasional; Maryati SH.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Abulyatama Aceh sejak 1989 ini berpendapat, membubarkan GAM berarti berbicara koridor hukum. Padahal, dalam MoU yang ditan­dat­angani oleh wakil Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, tidak tercantum satu pun point yang menyatakan GAM mesti bubar. Jadi, bagaimana GAM harus dibubarkan? Maryati menuturkannya kepada Muhammad Ali dari Aceh Magazine.

Bagaimana Anda melihat perkembangan MoU yang sudah berjalan?
Kedua pihak semakin memahami arti penting dari sebuah perjanjian ini. Artinya dalam konteks politik dan demokrasi kedua pihak semakin memposisikan diri pada porsinya ma­sing-masing.

Bisa jelaskan pandangan hukum in­ternasional terhadap MoU?
MoU adalah kesepakatan antara dua pihak. Dalam konteks MoU Helsinki, sebuah perjanjian pendahuluan yaitu kesepakatan damai antara pihak RI dengan GAM. Kemudian kesepakat­an itu dituang dalam MoU sesuai mak­sud para pihak. Dalam pandangan hu­kum internasional, MoU Helsinki da­pat digolongkan dalam kesepakat­an internasional yang bersifat treaty contract (hanya mengikat pihak yang me­nandatangani saja), bukan ke­mu­di­­an diartikan law making treaties (me­ngikat pihak lain di luar pembuat kesepakatan).

Soal polemik pembubaran GAM, An­da melihat MoU Helsinki ikut mengatur soal itu?
Tidak. kaitannya dengan itu, MoU ha­nya mengamanahkan pengalihan sta­tus tentara dari Tentara Neugara Aceh (TNA) kepada Komite Peralihan Aceh (KPA) dan pemusnahan senjata GAM. Itu sudah dilakukan.


Ada suara-suara yang minta GAM dibubarkan? Komentar Anda?
Bagaimana bisa Kalau tidak diatur da­lam MoU? Dalam beberapa kali ra­pat CoSA pun tidak pernah dibicarakan. Kalau pun ada yang berasumsi de­mikian, saya pikir coba kembali ke draft MoU dululah. Karena draft itu ada­lah referensi resmi dalam berbagai hal menyangkut proses perdamaian. Maaf ya, saya bukan bela GAM. Ini se­mua berdasarkan kajian hukum.

Bagaimana soal penyebutan ‘mantan’ bagi Perdana Menteri GAM Malik Mahmud atau mantan juru bicara GAM dalam beberapa pemberitaan media?
GAM belum bubar, (jadi) bagaimana menyebutkan mantan? Sebutan itu baru boleh kalau GAM sudah bu­bar atau pemerintahan GAM yang dibubarkan. Tapi saya tidak mende­ngar apakah pemerintahan GAM su­dah dibubarkan atau belum.


Siapa yang berhak membubarkan?
Hanya GAM yang dapat membu­barkan dirinya. Kalau pun ada pihak-pihak yang mengatakan GAM harus bubar, jawabannya harus kembali ke meja runding. Hanya meja runding yang dapat memutuskan.

Status GAM sekarang?
Tetap sebuah organisasi yang eksis dan harus dipandang sebagai sebuah or­ganisasi resmi.

Setelah AMM meninggalkan Aceh, siapa yang mengawasi perdamaian?
Perjanjian itulah yang akan mengawasinya. Mereka sudah punya satu komitmen kesepakatan, yaitu damai.

Bagaimana Anda melihat eksistensi GAM ke depan pasca terpilihnya Irwandi-Nazar sebagai gubernur?
Irwandi-Nazar memang mendapat dukungan penuh dari GAM. Tapi me­ngenai eksistensi GAM ke depan, sa­ya pikir tidak ada sangkut pautnya dengan ini. Setelah resmi jadi gu­bernur Acehmereka akan terikat dengan sis­­tem pemerintahan Aceh yang sesuai de­ngan MoU dan Undang-undang Pe­merintah Aceh (UUPA). Sedangkan GAM adalah organisasi yang berdiri sebelum UUPA. Di satu sisi GAM me­mang sudah eksis, tapi di sisi lain eksistensi ini terbenam oleh sistem pe­merintah Indonesia yang tidak menga­kui GAM sebelum MoU.l

Satu Bidikan, Ragam Julukan


SEJATINYA Aceh Merdeka alias AM merupakan nama resmi GAM yang disematkan oleh pen­dirinya Teungku Hasan di Tiro pa­­da 4 Desember 1976. Namun ka­­la itu, Pemerintah Indonesi­a sa­ma sekali tidak mengakui ke­beradaan gerakan ini. Maka po­li­tik labe­li­sasi pun kemudian di­kenakan ke pundak AM. Ini dia antara lain sebutan la­in untuk AM yang kemudian be­­r­ubah lakap menjadi Gerakan A­ceh Merdeka (GAM).


Gerombolan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT)
Ini merupakan tuduhan perta­ma yang dialamatkan Pemerin­tah Indonesia kepada Aceh Mer­de­ka (AM) pada tahun 1976-1979. tentu orang-orang tua di Aceh ke­­­tika itu masih ingat dengan selebaran-selebaran yang memuat sembilan foto dan nama Kabinet Hasan di Tiro ditulis: "Tangkap Hidup atau Mati". Pemerintah Indone­sia memperkirakan, dalam enam bulan, anggota dan pen­dukung GPLHT itu akan hancur.

Gerakan Pengacau Keamanan (GPK)
Gagal dengan sebutan gerombolan yang berkonotasi negatif, Pemerintah Indonesia kemudian mengubah sebu­tan itu menjadi gerakan. Lengkapnya Gerakan Pengacau Keamanan. Kegiatan ini semakin merajalela ketika Aceh menyandang status Daerah Operasi Militer (DOM).


Kekuatan Sipil Bersenjata (KSB)
Stigman ini menguap pada masa Jeda Kemanusiaan digarap sekitar tahun 2001.

Gerakan Separatis Aceh (GSA)
Pemerintah Indonesia mengklaim Aceh bagian dari In­do­­nesia. Pemisahan diri tentu saja dilabeli sebagai separatis. Sebutan GSA sering diucapkan oleh pihak militer.

Gerakan Sipil Bersenjata (GSB)
Sejurus dengan GSA, sebutan GSB ditempel pada GAM. Julukan ini sering digaungkan oleh pihak kepolisian.

GAM TUTUP BUKU


What’s in a name. “Apalah artinya sebuah nama,” begitu gugat sastrawan kelahiran Inggris, William Shakespeare. Tentu saja sebuah nama memiliki makna, bahkan sakral. Orang Islam, misalnya, mempercayai nama seseorang mengandung doa. Dalam bisnis, nama itu identitas dan menyangkut hak cipta pula. Makanya, lembaga hak paten pun kemudian dibentuk. Tujuannya apalagi kalau bukan supaya tak ada lembaga atau pihak lain mencuri nama yang sama dengan tujuan berbeda.

Maka, ‘apalah arti sebuah nama’ tentu menemukan maknanya. Sebut saja, misalnya, nama yang diangkat dari sebuah akronim: GAM! Maka, pemikiran masyarakat yang tinggal di Aceh pasti melebar kepada sebuah organisasi legendaris; yakni Gerakan Aceh Merdeka. Itu berarti, nama memiliki makna.

Pasca perjanjian damai Helsinki, kata-kata ‘merdeka’ yang disimbolkan dengan huruf M pada deretan font pembentuk kata GAM menjadi sesuatu yang menimbulkan kegerahan buat kalangan tertentu. Ada nuansa kalau kata-kata itu tak lagi boleh beredar di atmosfir Aceh. Desakan untuk membubarkan GAM pun kemudian disuarakan oleh kaum nasionalis di Jakarta maupun anggota dewan dari Gedung Senayan.

Terus terang, ini bukan sodokan pertama terhadap GAM. Suara miring dan ambisi membubarkan organisasi bentukan Hasan Tiro ini sudah dilontarkan jauh-jauh hari, bahkan begitu perjanjian Helsinki usai ditandatangani pada 15 Agustus 2005 oleh Malik Mahmud mewakili GAM dan Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Republik Indonesia (RI).
“Jika sekarang GAM dibubarkan, dengan siapa nanti RI berunding jika ada masalah?” mantan Panglima GAM Wilayah Pasee Sofyan Dawood, balik bertanya ketika itu. Ia menganggap keliru jika pemerintah RI membubarkan GAM. Sebuah pertanyaan retoris yang logis sekaligus mengelikan dari seorang Sofyan.

Gebrakan menuntut GAM compang-camping memang tak surut dilancarkan. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil mengatakan setelah perdamaian abadi terwujud di Aceh, maka tidak ada lagi organisasi GAM. “Sekarang ini memang GAM adalah partner kita, sampai semua prosedur berjalan dengan baik. Tetapi nanti, kalau perdamaian abadi sudah terwujud di Aceh dan selesai semuanya, GAM tentu tidak perlu lagi,” tegasnya kepada wartawan di Banda Aceh, 2 September 2005.

Menteri kelahiran Aceh Timur, ini memberi isyarat setelah GAM ikut dalam partisipasi politikseperti pesta demokrasi pemilihan kepala daerah; gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikotamaka tidak ada lagi lakab Gerakan Aceh Merdeka. Dia menambahkan tidak ada masalah kalau GAM berubah nama menjadi Gerakan Aceh Makmur atau Gerakan Aceh Membangun. Yang tidak boleh karena dianggap berkategori haram alias sudah di atas level makruh dalam tataran kebangsaanadalah menabalkan kata ‘merdeka’! Jalinan tuntutan ini pun dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang berfatwa GAM tidak perlu ada lagi dan harus bubar setelah semua poin persetujuan Nota Kesepahaman Helsinki Perdamaian Aceh dipenuhi. “Begitu semua poin persetujuan itu jalan, GAM tak dibutuhkan lagi,” kata Kalla di Istana Wakil Presiden.

Alergi Merdeka
Setali tiga uang. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi pun meminta GAM untuk dibubarkan. Muladi beralibi, pembubaran GAM diperlukan agar tidak ada lagi keraguan berbagai komponen bangsa terhadap komitmen keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia atawa NKRI oleh kalangan GAM. Dirinya sendiri, terang mantan Rektor Universitas Diponogoro Semarang, ini tidak sedikit pun meragukan komitmen ke-NKRI-an GAM pascaperjanjian damai Helsinki. Secara khusus ia pun haqqul yakin terhadap mantan perwakilan GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM) sebagai representasi GAM Irwandi Yusuf dalam hal komitmen kebangsaan ini. Muladi bahkan menyatakan sangat siap mendukung kepemimpinan mantan Staf khu¬sus Psy War Komando Pusat Angkatan Gerakan Aceh Merdeka sayap militer GAMyang juga dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, itu sebagai gubernur Aceh yang terpilih secara demokratis. Pun begitu, Muladi tetap mempersoalkan kata ‘merdeka’ yang disandang GAM. Pria bertubuh besar ini beralibi.

Dari nama yang disandang, kata Muladi, GAM mengesankan seolah-olah masih mengobarkan semangat separatisme yang sangat bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Karenanya harus diganti atau dibubarkan, meski itu bukan bagian dari kesepakatan Helsinki. “Mungkin sebagai kenang-kenangan, bolehlah. Perkumpulan eks GAM. Tapi jangan pakai nama itu lagi. Gerakan Aceh Merdeka, tidak ada ceritanya lagi di Indonesia,” ujar pakar hukum tata negara ini pada 13 Desember 2005.

Ibarat paduan suara, lirik senada juga didengungkan Ketua DPR RI Agung Laksono. “Sekarang ini setelah mantan tokoh GAM menang dalam pilkada 11 Desember lalu, sebaiknya nama GAM tidak dipakai lagi. Mari kita kubur masa lalu dan kita tatap masa depan,” ujar Agung mantap di Jakarta, sehari usai Pilkada di Aceh.


Protes AMM
Bisa dimengerti jika kubu nasionalis Indonesia meminta GAM segera dikuburkan. Mereka alergi mendengar kata merdeka digaungkan. Selain itu, simbol-simbol yang berkaitan dengan GAMseperti benderaharam dipamerkan atau dipakai. Tetapi, gelombang permintaan penolakan simbol-simbol GAM ini, seperti pin yang disematkan baju atau bendera GAM yang terdiri dari bulan sabit dengan dua garis hitam di atas dan bawah, juga disuarakan oleh Ketua AMM Pieter Feith.

Feith yang berkebangsaan Belanda ini sangat piawai menggunakan momentun menjelang misi AMM berakhir pada 15 Desember 2006. Dia mengamini pendapat para politikus Jakarta, yang terlalu mempersoalkan simbolisme. “Dalam MoU poin 4.2 tentang Pengaturan Keamanan disebutkan GAM melakukan demobilisasi atas semua 3.000 personel pasukan militernya. Anggota GAM tidak akan memakai seragam maupun menunjukkan emblem atau simbol militer setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini,” ucapnya telak saat jumpa pers terakhir di Kantor AMM di Banda Aceh pada 14 Desember 2006.

Nada keras Feith semakin nyaring digaungkan setelah Irwandi dan Nazar unggul dalam perolehan suara pilkada 11 Desember lalu. Feith menyebutkan, jika merujuk pada salah satu pasal dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Gubernur Aceh adalah perwakilan dari Pemerintah Republik Indonesia, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan penggunaan simbol GAM bertentangan dengan konstitusi dan semangat MoU Helsinki. “Saya yakin, jika sudah ditetapkan sebagai pemenang dalam Pilkada Gubernur Aceh, maka Irwandi-Nazar beserta anggota GAM lainnya akan menaati hal itu,” ungkap Feith serius.

Feith menyebutkan, pihaknya sudah memiliki kesepakatan umum dengan Perdana Menteri GAM Malik Mahmud bahwa penggunaan simbol-simbol GAM harus dihindari. Pasalnya, pemakaian simbol ini bisa meningkatkan birahi keraguan dari komitmen GAM terhadap proses perdamaian. “Kami rasa, Irwandi juga tahu mengenai hal itu,” ingat Ketua AMM.
Selain mengkritik, secara jantan Feith pun memuji GAM yang berhasil merayakan Milad 4 Desember 2006 tanpa menimbulkan gejolak. Pria berbadan besar ini juga tidak menepis bahwa dalam MoU Helsinki disepakati Aceh berhak mendapatkan bendera, simbol, dan logo sendiri. Menyangkut simbol-simbol itu, terutama soal bendera dan logo, Feith menyatakan hal ini sebaiknya dibahas oleh Pemda Aceh. “Tapi itu tidak perlu harus bendera GAM,” ingatnya.

GAM Tutup Buku
Tak pelak, tudingan dan tuntutan untuk membubarkan GAM menggiring birahi anggota GAM angkat bicara. Irwandi Yusuf yang terpilih sebagai gubernur Aceh meminta semua kalangan tidak terlalu mempersoalkan pemakaian logo dan simbol GAM oleh kadernya. “Ini bukan atribut militer. Ini cuma simbol organisasi,” bantah “alumnus” Lembaga Pemasyarakatan Keudah, Banda Aceh, ini.

Irwandi menyesalkan sikap Feith mengungkit-ungkit pembubaran GAM. Sebaliknya, dokter hewan ini beralibi, secara alamiah nantinya GAM juga bakal bubar dengan sendirinya. Dia bahkan balik menunding sikap Ketua AMM yang mempersoalkan masalah remeh temeh. Padahal, ada hal lebih besar yangmenurut Irwandiperlu disorot AMM; seperti pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Penyelesaian Klaim. Dalam pantauan Aceh Magazine, hingga AMM bubar pada 15 Desember 2005, kedua hal ini memang tak berhasil dituntaskan oleh Feith dan rekan-rekannya di AMM.

Irwandi benar-benar terlihat kesal. “Yang bisa membubarkan GAM ya GAM itu sendiri,” ujarnya kepada Idrus Saputra dari Aceh Magazine. “Dalam MoU tidak disebutkan pembubaran GAM. Yang ada pembubaran sayap militer GAM dan itu sudah dilaksanakan pada 27 Desember 2005,” terang Irwandi, lagi.

Begitu pun, kekesalan Irwandi tampaknya belum usai. Menanggapi polemik yang tanpa ujung ini ia pun kemudian menggugat. “Apakah dengan naiknya bendera GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur?” tanyanya, retoris. (Baca Interviu Irwandi Yusuf: Hubungan Saya dengan Swedia Susah).


Mantan TNA, Anggota GAM
Di tingkat arus bawah sendiri tak permah terbersit keinginan untuk membubarkan diri. “Jangan sebut kami mantan GAM. Yang benar kami mantan TNA,” ungkap seorang mantan kombatan GAM kepada Aceh Magazine. Dalam struktur GAM, TNA atawa Teuntara Neugara Aceh memang telah dilebur menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA).


Jadi, apalah arti sebuah nama. Kembali mengutip Irwandi Yusuf; apakah mengangkasanya bendera atau simbol GAM lantas bisa membuat masyarakat senang dan makmur. Simbol dalam format pin, bendera, atau lambangsuka atau tidakmemang dapat menimbulkan romantisme masa lalu yang dikhawatirkan membangkitkan kembali birahi melepaskan diri dari induk di Jakarta. Tetapi bukankah GAM telah menutup kotak peluru dan kini menerima kotak suara?

Pasca Pilkada 11 Desember 2006, banyak pihak kini sepakat untuk tidak terperosok pada wacana dan simbolifikasi sehingga melalaikan persoalan sosial dan hal-hal subtansi yang kini sedang bergulir; pengangguran, kemiskinan, korban tsunami, dan korban konflik. Ini, tentu, soal-soal yang lebih membutuhkan perhatian dan solusi konkrit. Apalagi, dalam perjanjian damai Helsinki memang tidak lagi ada sebutir kata ‘merdeka’ pun bercokol di sana.

Jadi, masih perlukah mempersoalkan simbol atau sebuah nama ketika rakyat butuh makan dan lapangan kerja? (IDRUS SAPUTRA/MURIZAL HAMZAH)

Geliat Inong Balee di Pengujung Konflik


Benarkah inong bale tersingkir pascakonflik? Faridah, bekas pasukan inong balee asal Aceh Rayeuk menggeleng cepat. “Kami adalah bahagian dari pejuang Aceh, KPA dan GAM juga tetap mengakui kami. Kami juga dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan tertentu setelah damai, seperti pelantikan gubernur tempo hari,” sebutnya. Penilaiannya, pengaturan dan sistem yang terapkan oleh BRA tidak benar, sehingga imbasnya bukan hanya pada inong balee, akan tetapi mantan pasukan GAM juga banyak yang tidak tersentuh.

Kondisinya pasca konflik kurang lebih sama dengan yang lain. Faridah belum mendapatkan apa-apa dari dana reintegrasi.

Menurutnya, BRA sudah punya acuan kerja resmi, tapi ketika dilaksanakan mereka sendiri bingung. “Padahal ketentuan kan sudah ada, bagaimana yang dikatakan dengan pasukan TNA, bagaimana GAM, yang mana simpatisan, yang mana korban konflik dan lain-lain, bagaimana penanganannya, semua sudah jelas. Kejadiannya apa? Anda tahu sendiri kan?,” sebutnya setengah bertanya.
Data kongkrit, juga menjadi sisi lemah lain. Mereka belum berhasil melakukan pendataan secara menyeluruh. Faridah tak mau menggurui lebih jauh. “Kalau mereka juga ingin melanjutkan programnya, ngak usah peduli GAM juga tidak apa-apa, tapi
jangan lupakan korban konflik, janda konflik, dan anak-anak yatim akibat konflik.”
Entahlah... keberadaan inong balee kian kontroversi. Yang jelas, mereka tak bisa dipisahkan dari gerakan dulunya. Bakhtiar Abdullah, Juru Bicara GAM menyebutkan pasukan inong balee punya peran besar. “Sangat banyak peran mereka dalam perjuangan GAM. Inong bale itu juga pejuang GAM bersama TNA,” tegas warga negara Swedia ini.
LINA
Perannya dulu beragam; dari ikut bergerilya sampai pemasok logistik untuk pasukan di hutan. Juga sebagai pemicu semangat juang para TNA. Siapa yang tak bangkit semangatnya melihat perempuan juga ikut memanggul senjata?
Pengakuannya, inong balee selalu berhubungan dengan GAM dan KPA setiap saat. Pascakonflik, mereka juga difasilitasi berbagai kegiatan pelatihan, salah satunya kerjasama bersama Liga Inong Aceh (LINA). Organisasi inilah yang telah banyak melatih inong balee sekarang ini; memberikan pendidikan perpolitikan, komputer, dan Bahasa Inggris.
Jumlahnya ribuan, Bakhtiar tidak mempunyai angka pasti. Sampai saat ini, GAM belum mendata keseluruhan jumlah mereka. Perhitungan sedang dilakukan.
Bakhtiar menepis cepat isu para inong balee yang dikorbankan dan di-pinggir-kan kepentingannya sesudah damai, terutama menyangkut dana reintegrasi. Petinggi GAM yang lama di Swedia itu mengakui benar, tidak ada na¬ma bekas pasukan inong balee dalam daftar penerima dana kompensasi dari BRA, yang diperuntukkan bagi 3.000 kombatan sesuai MoU Helsinki. Tapi, berarti mereka dianaktirikan. “Walaupun tidak ada nama, dari GAM juga memberikan kepada mereka, dan ini ada yang sudah mendapatkan,” sebutnya.
“Saya tidak bisa berkomentar lebih jauh kenapa nama mereka (dalam daftar 3.000) nggak ada,” sebutnya tanpa memberikan alasan.
Hematnya, Badan Reintegrasi Aceh alias BRA itu punya mekanisme sendiri dalam pelaksanaannya dan GAM juga telah melakukan kerjasama yang baik selama ini. Semua program reintegrasi diberikan kewenangannya kepada BRA; termasuk bagaimana cara pembagiannya, disesuaikan dengan mekanisme mereka. Di internal GAM sendiri ada kebijakan tambahan, misalnya; menyisihkan sedikit untuk inong balee.
BRA
Penjelasan Bakhtiar soal ada tidaknya nama inong balee dalam daftar gerilyawan 3.000 bertolak belakang dengan keterangan pihak BRA. Romana, Staf BRA di Banda Aceh, menyebutkan ada nama perempuan (inong balee) da¬lam data 3.000. “Untuk inong balee diantara 3.000 nama yang diajukan oleh KPA, ada kok terdapat nama-nama perempuan,” sebutnya.
Menurutnya pekerjaan BRA adalah mengimplementasikan butir-butir perjanjian MoU Helsinki. Target utamanya adalah TNA, GAM sipil, GAM menyerah, tahanan politik (tapol), dan juga korban konflik. Inong balee tidak khusus tapi ada di dalam unsur-unsur itu. BRA dibentuk sekitar awal tahun 2006 untuk mengurus kor¬ban konflik, anggota GAM, termasuk milisi.
Romana menyebutkan angka seratusan inong balee terdaftar sebagai penerima bantuan langsung, baik di dalam daftar gerilyawan 3.000 maupun dalam daftar sipil GAM 9.200. “Dibuktikan dengan adanya wakil perempuan yang kita serahkan bantuan secara langsung,” jelasnya.
“Berkaitan dengan isu gender, kita tidak membedakan laki-laki dan perempuan, kalau itu TNA, baik dia laki-laki atau perempuan, kita bayar Rp. 25 juta. Kalau dia non-TNA, kita juga tetap bayar Rp 10 juta, kalau dia tapol kita juga tetap membayarnya,” rinci Romana.
Semua data penerima bantuan itu ada di KPA. Katanya, sudah menjadi kesepakatan antara Aceh Monitoring Mission (AMM), Gubernur Aceh, GAM dan BRA, bahwa nama TNA dan non TNA yang mendapatkan bantuan ini tidak boleh keluar.
Tanpa mengantongi daftar ini, tentu saja kesimpulan yang diperoleh masih buntu alias tak bisa diurai. Di sini, Ketua BRA Islahudddin bersikap sama se¬perti hal¬nya Romana. “Inong Balee ada di antara 3.000 penerima bantuan, tapi saya tidak tahu berapa jumlah pastinya. Di data yang kami terima dari KPA terdapat nama inong balee,” sebutnya.
Mengenai program untuk inong balee, Islahuddin menyebutkan saat ini BRA tidak memiliki program khusus buat mereka. Tetapi, ke depan dia berjanji akan ada program yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi perempuan bekas pejuang ini. Kata Islahuddin, posisi BRA sebagai penengah dan tidak mencampuri sedikit pun data yang diberikan pihak KPA. Dia sendiri menolak memberikan daftar penerima bantuan ketika diminta oleh Aceh Magazine.
Karena itu, sulit memang membuktikan adakah nama inong balee dalam daftar penerima langsung dana kompensasi reintegrasi melalui BRA. Dari penelurusan Aceh Magazine, inong balee yang berhasil ditemui mengaku tak mendapat langsung bagian itu, termasuk inong balee sesenior Suriani.
Lupakan itu!
Yang jelas, walaupun tak semua, inong balee juga menerima bagian kucuran dana itu kendati hanya berupa dana si¬sihan dari rekan la¬ki-la¬ki sesa¬ma bekas pejuang yang kecipratan da¬na kompensasi BRA.
Begitu pun, program reintegrasi masih akan pan¬jang; ada janji BRA un¬tuk mem¬berdayakan mereka agar Suriani, Faridah, Sal¬wati, Mu¬tiawati, Fitria dan ribuan la¬¬innya bisa bangkit sejajar de¬ngan pejuang laki-laki. Tentu ju¬ga agar mereka ikut merasakan em¬¬puknya jok mo¬bil, se¬per¬ti impian Rusyida yang ma¬sih ha¬rus bergelut lumpur di pabrik ba¬tu bata tempatnya menghabiskan waktu.