PENGUJUNG 2006, jurnalis Aceh Magazine Ricky Fechrizal melakukan perjalanan darat menyusuri pantai timur Aceh guna melihat relasi dan hubungan antarberbagai eknis yang ada di daerah ini. Ia masuk dan “menyusup” ke komunitas Jawa yang telah hidup lama dan beranak pinak di wilayah Aceh bagian timur. Ada yang unik. Ada pula yang menarik. Inilah laporannya.
ASRI. Itulah kesan yang menancap di benak saya usai berkunjung ke Desa Lengkong Kedubang Jawa, Kecamatan Langsa Barat. Jangan heran dengan nama perkampungan yang menggunakan bahasa Jawa. Sebab, desa itu memang dihuni oleh sedikitnya 3000 jiwa etnis Jawa. Hanya segelintir saja etnik Aceh berada di sana.
Kendati Kedubang perkampungan Jawa, hubungan dengan suku asli terbina baik. Perbedaan suku tidak membuat saling bermusuhan, termasuk saat Aceh didera konflik.
Warga di sana sangat ramah, termasuk kepada para pendatang. Keramahan inilah yang membuat kerukunan antarpenduduk Desa Kedubang bisa berdampingan tanpa saling curiga. “Warga di sini sangat menjunjung tinggi keramahan dan tenggang rasa terhadap orang lain,” kata Kepala Desa Kedubang, Yus Putra, saat saya berkunjung ke desa itu akhir tahun lalu. “Itu yang membuat kami bisa hidup rukun, tidak pernah terjadi konflik sampai sekarang,” timpalnya.
Yus Putra berkisah, saat konflik, etnis Aceh di sana menjadi “pelindung” warga beretnis Jawa. Saat etnis Jawa eksodus ke luar Aceh, warga Desa Kedubang aman-aman saja. Mereka masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada rasa takut. Bahkan, tak jarang etnis Jawa yang bermukim di kampung lain mencari perlindungan ke Desa Kedubang.
“Banyak warga Jawa yang berasal dari Peureulak, (Bireum) Bayeun, dan daerah lain yang memilih mengungsi untuk menyelamatkan diri di perkampungan ini,” kata bapak empat anak ini. Yus Putra sendiri sudah 40 tahun menetap di Desa Kedubang.
Bahkan, saat Aceh memasuki fase perdamaian, banyak etnis Jawa dari luar Kedubang ogah kembali ke kampung asal. Mereka tetap menetap dan membuat rumah di sini. Hanya untuk mencari nafkah saja, mereka kembali ke kampung asal.
Di perkampungan ini, terdapat dua pos keamanan saat konflik. Satu pos TNI dan satu pos polisi. Ketika kontak senjata menjadi “kegiatan” rutin di daerah lain, di desa ini malah sangat jarang terdengar senjata menyalak. Yus Putra menyebutkan, hanya sekali saja pernah terjadi kontak tembak antara pasukan pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Itu pun di kawasan perkebunan yang bersebelahan dengan Desa Lengkong Kedubang Jawa. Saat itu, satu anggota gerilyawan tewas.
Kendati mayoritas penduduknya beretnis Jawa, GAM tidak pernah mengusik desa ini. Memang, ada beberapa anggota GAM yang masuk ke perkampungan. “Tapi mereka baik-baik, tidak pernah meminta apa pun dari masyarakat di sini,” kenang Yus. “Pernah terjadi, seorang anggota GAM ke sini untuk menjual ikan.
TIDAK diketahui pasti kapan awal mulanya etnis Jawa bermigrasi ke Aceh. Penerus “dinasti” Jawa di Kedubang juga tidak mengetahui sejarahnya. Hanya saja, mereka mengaku nenek moyang mereka dibawa oleh Kolonial Belanda. Tujuannya, untuk bekerja di perkebunan dan perusahaan Belanda yang dikelola perusahaan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Tapi tunggu dulu! Kendati nenek moyang mereka dibawa oleh Kolonial Belanda, bukan berarti etnis Jawa di Aceh manut alias patuh saja pada penjajah. Saat perang, suku Jawa ini juga bahu membahu dengan warga Aceh mengusir penjajah. Salah satu pahlawan itu bernama Ribut bin Totong yang meninggal dunia pada usia 80 tahun. Dia sangat berjasa menumpas penjajahan di masa kolonial.
Di Kota Langsa, terdapat sedikitnya 20.000 masyarakat Jawa. Sangat mudah menandakan perkampungan Jawa. Biasanya, mereka menamakan kampung dengan bahasa Jawa atau perkampungan yang ada di Pulau Jawa sana. Lihat saja nama Sidorejo, Sidodadi, atau Lengkong Kedubang. “Kampung Lengkong diambil dari nama perkampungan di Purworejo, Jawa Tengah. Mungkin orang yang pertama menginjakkan kaki ke sini adalah orang Jawa yang berasal dari Kampung Lengkong,” kata Tina, warga Lengkong Kedubang Jawa.
Ada tujuh perkampungan yang khusus didiami suku Jawa, yaitu Desa Lengkong kedubang Jawa sekitar 3.000 jiwa, Karang Anyar (3.000 jiwa), Lengkong Kedubang Aceh (1.500 jiwa). Ketiga desa itu terdapat di Kecamatan Langsa Barat. Sementara di Kecamatan Langsa Timur, yaitu Sidorejo (3.000 jiwa), Selala (3.000 jiwa), Kemuning (3.000 jiwa), dan Desa Sidodadi (3.000 jiwa).
Mayoritas suku Jawa di Langsa bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tak ayal, di setiap pekarangan rumah ada tanaman sawit yang menjulang. Tina menyebutkan, penghasilan utamanya dari sawit. Setiap pekan, dia
bisa mendapatkan Rp 50.000 dari enam pokok sawit di halaman rumahnya. “Setiap hari masyarakat di kampung ini bisa menghasilkan satu truk kelapa sawit,” Yus Putra menimpali.
Lantas, apa harapan mereka kini kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang telah terpilih menduduki kursi kegubernuran dengan latar belakang GAM?
“Kami berharap pemimpin terpilih dapat menjaga perdamaian, mensejahterakan Aceh,” kata Yus. Itu saja? Ada satu harapan lain: “Jangan bedakan antara satu suku dengan suku yang lain. Antara suku Aceh dan Jawa. Selama ini kami sudah hidup berdampingan dengan baik.” Harapan, sekaligus permintaan.
ASRI. Itulah kesan yang menancap di benak saya usai berkunjung ke Desa Lengkong Kedubang Jawa, Kecamatan Langsa Barat. Jangan heran dengan nama perkampungan yang menggunakan bahasa Jawa. Sebab, desa itu memang dihuni oleh sedikitnya 3000 jiwa etnis Jawa. Hanya segelintir saja etnik Aceh berada di sana.
Kendati Kedubang perkampungan Jawa, hubungan dengan suku asli terbina baik. Perbedaan suku tidak membuat saling bermusuhan, termasuk saat Aceh didera konflik.
Warga di sana sangat ramah, termasuk kepada para pendatang. Keramahan inilah yang membuat kerukunan antarpenduduk Desa Kedubang bisa berdampingan tanpa saling curiga. “Warga di sini sangat menjunjung tinggi keramahan dan tenggang rasa terhadap orang lain,” kata Kepala Desa Kedubang, Yus Putra, saat saya berkunjung ke desa itu akhir tahun lalu. “Itu yang membuat kami bisa hidup rukun, tidak pernah terjadi konflik sampai sekarang,” timpalnya.
Yus Putra berkisah, saat konflik, etnis Aceh di sana menjadi “pelindung” warga beretnis Jawa. Saat etnis Jawa eksodus ke luar Aceh, warga Desa Kedubang aman-aman saja. Mereka masih bisa menjalankan aktivitas sehari-hari tanpa ada rasa takut. Bahkan, tak jarang etnis Jawa yang bermukim di kampung lain mencari perlindungan ke Desa Kedubang.
“Banyak warga Jawa yang berasal dari Peureulak, (Bireum) Bayeun, dan daerah lain yang memilih mengungsi untuk menyelamatkan diri di perkampungan ini,” kata bapak empat anak ini. Yus Putra sendiri sudah 40 tahun menetap di Desa Kedubang.
Bahkan, saat Aceh memasuki fase perdamaian, banyak etnis Jawa dari luar Kedubang ogah kembali ke kampung asal. Mereka tetap menetap dan membuat rumah di sini. Hanya untuk mencari nafkah saja, mereka kembali ke kampung asal.
Di perkampungan ini, terdapat dua pos keamanan saat konflik. Satu pos TNI dan satu pos polisi. Ketika kontak senjata menjadi “kegiatan” rutin di daerah lain, di desa ini malah sangat jarang terdengar senjata menyalak. Yus Putra menyebutkan, hanya sekali saja pernah terjadi kontak tembak antara pasukan pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Itu pun di kawasan perkebunan yang bersebelahan dengan Desa Lengkong Kedubang Jawa. Saat itu, satu anggota gerilyawan tewas.
Kendati mayoritas penduduknya beretnis Jawa, GAM tidak pernah mengusik desa ini. Memang, ada beberapa anggota GAM yang masuk ke perkampungan. “Tapi mereka baik-baik, tidak pernah meminta apa pun dari masyarakat di sini,” kenang Yus. “Pernah terjadi, seorang anggota GAM ke sini untuk menjual ikan.
TIDAK diketahui pasti kapan awal mulanya etnis Jawa bermigrasi ke Aceh. Penerus “dinasti” Jawa di Kedubang juga tidak mengetahui sejarahnya. Hanya saja, mereka mengaku nenek moyang mereka dibawa oleh Kolonial Belanda. Tujuannya, untuk bekerja di perkebunan dan perusahaan Belanda yang dikelola perusahaan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Tapi tunggu dulu! Kendati nenek moyang mereka dibawa oleh Kolonial Belanda, bukan berarti etnis Jawa di Aceh manut alias patuh saja pada penjajah. Saat perang, suku Jawa ini juga bahu membahu dengan warga Aceh mengusir penjajah. Salah satu pahlawan itu bernama Ribut bin Totong yang meninggal dunia pada usia 80 tahun. Dia sangat berjasa menumpas penjajahan di masa kolonial.
Di Kota Langsa, terdapat sedikitnya 20.000 masyarakat Jawa. Sangat mudah menandakan perkampungan Jawa. Biasanya, mereka menamakan kampung dengan bahasa Jawa atau perkampungan yang ada di Pulau Jawa sana. Lihat saja nama Sidorejo, Sidodadi, atau Lengkong Kedubang. “Kampung Lengkong diambil dari nama perkampungan di Purworejo, Jawa Tengah. Mungkin orang yang pertama menginjakkan kaki ke sini adalah orang Jawa yang berasal dari Kampung Lengkong,” kata Tina, warga Lengkong Kedubang Jawa.
Ada tujuh perkampungan yang khusus didiami suku Jawa, yaitu Desa Lengkong kedubang Jawa sekitar 3.000 jiwa, Karang Anyar (3.000 jiwa), Lengkong Kedubang Aceh (1.500 jiwa). Ketiga desa itu terdapat di Kecamatan Langsa Barat. Sementara di Kecamatan Langsa Timur, yaitu Sidorejo (3.000 jiwa), Selala (3.000 jiwa), Kemuning (3.000 jiwa), dan Desa Sidodadi (3.000 jiwa).
Mayoritas suku Jawa di Langsa bekerja di perkebunan kelapa sawit. Tak ayal, di setiap pekarangan rumah ada tanaman sawit yang menjulang. Tina menyebutkan, penghasilan utamanya dari sawit. Setiap pekan, dia
bisa mendapatkan Rp 50.000 dari enam pokok sawit di halaman rumahnya. “Setiap hari masyarakat di kampung ini bisa menghasilkan satu truk kelapa sawit,” Yus Putra menimpali.
Lantas, apa harapan mereka kini kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang telah terpilih menduduki kursi kegubernuran dengan latar belakang GAM?
“Kami berharap pemimpin terpilih dapat menjaga perdamaian, mensejahterakan Aceh,” kata Yus. Itu saja? Ada satu harapan lain: “Jangan bedakan antara satu suku dengan suku yang lain. Antara suku Aceh dan Jawa. Selama ini kami sudah hidup berdampingan dengan baik.” Harapan, sekaligus permintaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar