HANIF tampak lebih rapi. Rambut dipangkas pendek, kumis dan jenggot dibabat tanpa tersisa. Penampilan necis. Dia berpakaian rapi. Sangat kontras dengan penampilannya setahun silam, saat dia masih memelihara kumis dan jenggot. Dulu dia juga tidak terlalu hirau dengan penampilan. Banyak yang berubah dari lelaki 39 tahun ini.
Setahun silam, penampilan Hanif masih urak-urakan. Rambut jarang disisir, kumis dan jenggot dibiarkan bergelantungan. Singkat kata, Hanif seperti orang yang tinggal di pegunungan. Memang, Hanif sering berkelana di hutan. Bukan karena dia seorang anggota gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau bagian dari petualang, seperti aktivis pencinta alam. Bukan sama sekali. Kehidupan dia jauh dari bau kedua aktivitas itu. Bahwa dia sering berkelana di hutan dan pegunungan, itu benar! Setahun silam, pria tegar ini masih menjabat agen ganja.
Selama menjadi agen ganja, Hanif bergelimang fulus. Sebulan saja dia mampu mengantongi Rp 125 juta. Hanif hanya bisa menikmati dunia hedon, tapi tidak bisa merengkuh bahagia dan ketenangan. Betapa tidak, saban hari dia merasa dikejar-kejar oleh polisi.
Dunia mafia ganja dilakoni Hanif sejak lulus sekolah menengah atas di sebuah daerah terpencil di Kabupaten Aceh Besar. Mulanya, Hanif hanya terpengaruh bujuk rayu salah seorang toke besar. “Karena sering sukses, akhirnya ketagihan,” ujarnya tersenyum renyah. Sejak saat itu, dia terus keranjingan bermain di daun neraka ini. Tak kurang dari 20 tahun dia menggeluti bisnis mengiurkan ini.
Di dunia hitam itu, Hanif menjelma menjadi bos besar. Dia punya 10 anak buah, yang disebarkan di sepuluh sentra penghasil ganja di Pulo Aceh dan Aceh Besar. Hampir setiap hari anak buahnya mengumpulkan ganja kering di gudang khusus yang ada di rumah Hanif. Setelah terkumpul dalam jumlah banyak, Hanif membawanya ke kota-kota besar untuk dipasarkan.
Jaringan India, Hongkong dan Thailand
Bukan hanya di Indonesia, tahun 2003 dia sudah membuka jaringan pemasaran hingga India, Hongkong, dan Thailand. Banyak pengalaman yang diperoleh Hanif selama bergelut di dunia itu, khususnya trik meloloskan diri dari uberan aparat keamanan. ”Bermain kucing-kucingan dengan polisi sudah terbiasa buat kami,” kata Hanif saat ditemui di Banda Aceh, akhir Januari lalu. “Kami pun harus pandai-pandai bermain tikus-tikusan dengan mereka,” tambahnya.
Bermacam trik dilakukan untuk mengelabui polisi saat membawa barang haram itu. Selalu saja, Hanif sukses. Pepatah sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh jua, agaknya juga berlaku bagi Hanif cs. Pada medio 2001 silam, Hanif diuber polisi dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Masih untung, polisi tidak mengenal nama Hanif, “karena waktu itu saya pakai nama lain,” sebut Hanif.
Sejak resmi jadi DPO, hampir tiap hari rumah Hanif didatangi polisi. Bahkan istrinya pun hampir kewalahan mengadapinya. ”Tapi mereka tidak pernah menemukan barang bukti. Polisi juga selalu menanyakan keberadaan abang, saya selalu menjawab tidak ada orang yang dicarinya,” kata Nur Hayati, (23) istri Hanif.
Saat penggeledahan itu, polisi bukan mencari pria yang bernama Hanif, tapi nama samaran yang digunakannya. “Saya selalu bilang bahwa polisi salah alamat, sehingga mereka pulang dengan marah-marah. Besoknya datang polisi yang lain lagi,” lanjutnya. “Begitulah seterusnya.”
Insyaf
Akibat terus-terusan didatangi polisi, Nur Hayati tidak kuat menghadapi semua itu. Nur Hayati akhirnya membujuk suaminya untuk berhenti menjadi mafia. Pada awalnya, bujukan Nur Hayati dibalas dengan amarah sang suami. Namun, Nur Hayati tak patah semangat. “Saya tetap membujuknya untuk meninggalkan dunia itu. Apalagi anak-anak tambah besar. Apa jadinya, kalau satu hari kelak dia tahu bahwa ayahnya seorang mafia yang dikejar-kejar polisi,” kenang Nurhayati sambil membelai rambut anak bungsunya yang masih dalam gendongan.
September 2005, Hanif resmi “mengundurkan” diri dari dunia “bakong”. Dengan sisa kekayaan, dia mulai mengurus surat-surat pendirian sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Awalnya dia hanya membuat penawaran pekerjaan pada perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Tapi akhirnya perusahaannya itu lolos pada NGO-NGO yang sedang bekerja merekonstruksi Aceh pascatsunami.
Akhir 2006 Hanif telah menyelesaikan puluhan rumah yang didapatnya dari berbagai NGO. ”Saya merasa lebih puas sekarang, karena semua yang saya peroleh adalah hasil dari pekerjaan yang tenang, tanpa dikejar-kejar oleh polisi. Anak dan istri pun bisa bertemu setiap hari,” ungkapnya serius.
Selama berubah profesi banyak hal yang membuatnya puas. Antara lain bisa merekrut anak-anak muda pengangguran di desanya untuk dipekerjakan, termasuk mantan anak buahnya dulu. ”Dari dulu saya sudah memutuskan untuk tetap bersama Bang Hanif dalam kondisi apa pun. Sekarang dia sudah jadi bos bangunan, saya juga ikut bersamanya,” tutur Marzuki, salah seorang mantan anak buah Hanif yang sekarang jadi karyawannya.
Saat ditemuai Aceh Magazine di rumahnya di kawasan Darussalam Aceh Besar beberapa waktu lalu, Hanif tampak sedang duduk santai di bangku depan rumahnya. Dengan wajahnya yang selalu menebarkan senyum dan tutur katanya yang ramah sangat mencerminkan bahwa dia adalah salah satu pemuda yang disegani di desanya.
Seandainya Hanif tidak menceritakan panjang lebar tetang kisah hidupnya, nyaris tidak ada yang tahu kalau dia adalah mantan mafia yang dikejar-kejar polisi. Tapi semua sudah berubah. Hanif kini sudah hidup normal seperti orang kebanyakan. Bagi Hanif, masa lalu yang kelam merupakan sebuah eskperimentasi yang gagal. Makanya, Hanif sama sekali tidak tergoda untuk kembali menekuni bisnis haram itu.
Setahun silam, penampilan Hanif masih urak-urakan. Rambut jarang disisir, kumis dan jenggot dibiarkan bergelantungan. Singkat kata, Hanif seperti orang yang tinggal di pegunungan. Memang, Hanif sering berkelana di hutan. Bukan karena dia seorang anggota gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau bagian dari petualang, seperti aktivis pencinta alam. Bukan sama sekali. Kehidupan dia jauh dari bau kedua aktivitas itu. Bahwa dia sering berkelana di hutan dan pegunungan, itu benar! Setahun silam, pria tegar ini masih menjabat agen ganja.
Selama menjadi agen ganja, Hanif bergelimang fulus. Sebulan saja dia mampu mengantongi Rp 125 juta. Hanif hanya bisa menikmati dunia hedon, tapi tidak bisa merengkuh bahagia dan ketenangan. Betapa tidak, saban hari dia merasa dikejar-kejar oleh polisi.
Dunia mafia ganja dilakoni Hanif sejak lulus sekolah menengah atas di sebuah daerah terpencil di Kabupaten Aceh Besar. Mulanya, Hanif hanya terpengaruh bujuk rayu salah seorang toke besar. “Karena sering sukses, akhirnya ketagihan,” ujarnya tersenyum renyah. Sejak saat itu, dia terus keranjingan bermain di daun neraka ini. Tak kurang dari 20 tahun dia menggeluti bisnis mengiurkan ini.
Di dunia hitam itu, Hanif menjelma menjadi bos besar. Dia punya 10 anak buah, yang disebarkan di sepuluh sentra penghasil ganja di Pulo Aceh dan Aceh Besar. Hampir setiap hari anak buahnya mengumpulkan ganja kering di gudang khusus yang ada di rumah Hanif. Setelah terkumpul dalam jumlah banyak, Hanif membawanya ke kota-kota besar untuk dipasarkan.
Jaringan India, Hongkong dan Thailand
Bukan hanya di Indonesia, tahun 2003 dia sudah membuka jaringan pemasaran hingga India, Hongkong, dan Thailand. Banyak pengalaman yang diperoleh Hanif selama bergelut di dunia itu, khususnya trik meloloskan diri dari uberan aparat keamanan. ”Bermain kucing-kucingan dengan polisi sudah terbiasa buat kami,” kata Hanif saat ditemui di Banda Aceh, akhir Januari lalu. “Kami pun harus pandai-pandai bermain tikus-tikusan dengan mereka,” tambahnya.
Bermacam trik dilakukan untuk mengelabui polisi saat membawa barang haram itu. Selalu saja, Hanif sukses. Pepatah sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh jua, agaknya juga berlaku bagi Hanif cs. Pada medio 2001 silam, Hanif diuber polisi dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Masih untung, polisi tidak mengenal nama Hanif, “karena waktu itu saya pakai nama lain,” sebut Hanif.
Sejak resmi jadi DPO, hampir tiap hari rumah Hanif didatangi polisi. Bahkan istrinya pun hampir kewalahan mengadapinya. ”Tapi mereka tidak pernah menemukan barang bukti. Polisi juga selalu menanyakan keberadaan abang, saya selalu menjawab tidak ada orang yang dicarinya,” kata Nur Hayati, (23) istri Hanif.
Saat penggeledahan itu, polisi bukan mencari pria yang bernama Hanif, tapi nama samaran yang digunakannya. “Saya selalu bilang bahwa polisi salah alamat, sehingga mereka pulang dengan marah-marah. Besoknya datang polisi yang lain lagi,” lanjutnya. “Begitulah seterusnya.”
Insyaf
Akibat terus-terusan didatangi polisi, Nur Hayati tidak kuat menghadapi semua itu. Nur Hayati akhirnya membujuk suaminya untuk berhenti menjadi mafia. Pada awalnya, bujukan Nur Hayati dibalas dengan amarah sang suami. Namun, Nur Hayati tak patah semangat. “Saya tetap membujuknya untuk meninggalkan dunia itu. Apalagi anak-anak tambah besar. Apa jadinya, kalau satu hari kelak dia tahu bahwa ayahnya seorang mafia yang dikejar-kejar polisi,” kenang Nurhayati sambil membelai rambut anak bungsunya yang masih dalam gendongan.
September 2005, Hanif resmi “mengundurkan” diri dari dunia “bakong”. Dengan sisa kekayaan, dia mulai mengurus surat-surat pendirian sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Awalnya dia hanya membuat penawaran pekerjaan pada perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Tapi akhirnya perusahaannya itu lolos pada NGO-NGO yang sedang bekerja merekonstruksi Aceh pascatsunami.
Akhir 2006 Hanif telah menyelesaikan puluhan rumah yang didapatnya dari berbagai NGO. ”Saya merasa lebih puas sekarang, karena semua yang saya peroleh adalah hasil dari pekerjaan yang tenang, tanpa dikejar-kejar oleh polisi. Anak dan istri pun bisa bertemu setiap hari,” ungkapnya serius.
Selama berubah profesi banyak hal yang membuatnya puas. Antara lain bisa merekrut anak-anak muda pengangguran di desanya untuk dipekerjakan, termasuk mantan anak buahnya dulu. ”Dari dulu saya sudah memutuskan untuk tetap bersama Bang Hanif dalam kondisi apa pun. Sekarang dia sudah jadi bos bangunan, saya juga ikut bersamanya,” tutur Marzuki, salah seorang mantan anak buah Hanif yang sekarang jadi karyawannya.
Saat ditemuai Aceh Magazine di rumahnya di kawasan Darussalam Aceh Besar beberapa waktu lalu, Hanif tampak sedang duduk santai di bangku depan rumahnya. Dengan wajahnya yang selalu menebarkan senyum dan tutur katanya yang ramah sangat mencerminkan bahwa dia adalah salah satu pemuda yang disegani di desanya.
Seandainya Hanif tidak menceritakan panjang lebar tetang kisah hidupnya, nyaris tidak ada yang tahu kalau dia adalah mantan mafia yang dikejar-kejar polisi. Tapi semua sudah berubah. Hanif kini sudah hidup normal seperti orang kebanyakan. Bagi Hanif, masa lalu yang kelam merupakan sebuah eskperimentasi yang gagal. Makanya, Hanif sama sekali tidak tergoda untuk kembali menekuni bisnis haram itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar