Jika Aceh Menjadi Tiga
oleh Sidik Pramono dan Ahmad Arif
Ketua DPRD Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tagore Abubakar terlihat gusar.
Kepada wakil elemen mahasiswa Arbie Misra, Tagore mengingatkan rekomendasi pemboikotan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang disampaikan elemen mahasiswa Aceh Leuser Antara adalah hal yang riskan dan bisa-bisa kontraproduktif terhadap niatan memekarkan diri.
Dalam penyampaian rekomendasi hasil Silaturahmi dan Temu Akbar Masyarakat Aceh Leuser Antara (ALA) se-Indonesia pada Minggu (6/8) sore, selain mendesak percepatan pengesahan RUU Pembentukan ALA, elemen mahasiswa juga menyerukan boikot atas pelaksanaan pilkada Aceh.
Mahasiswa merekomendasikan adanya mogok kerja struktural birokrasi pemerintahan di lima kabupaten ALA secara serentak. Langkah itu merupakan bentuk pembangkangan sipil atas pengabaian aspirasi masyarakat ALA untuk membentuk provinsinya sendiri. Pertemuan raya di Gedung Olah Seni Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, sepanjang 4-6 Agustus lalu itu memang hanya merupakan penegasan atas keinginan untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi ALA.
Usul lama
Aspirasi pembentukan Provinsi ALA sebenarnya sudah mulai muncul pada 1999 dan telah menjadi RUU inisiatif DPR pada 28 September 2004. Namun, proses berikutnya mentok, salah satunya karena belum terpenuhinya syarat administratif berupa surat usulan Gubernur dan persetujuan DPRD Aceh. Padahal sejumlah syarat penting sudah terpenuhi— termasuk di antaranya surat keputusan persetujuan dari DPRD kabupaten dan usulan dari bupati di wilayah calon provinsi baru itu.
Ketika persoalan ALA belum tuntas, muncul kemudian aspirasi dari elemen masyarakat Aceh untuk membentuk Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) terpisah dari Aceh. Yang berencana tergabung dalam provinsi baru ini ada enam kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeuleu, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, dan Nagan Raya. Alasan yang diusung nyaris sama, wilayah mereka lebih kerap dilupakan oleh Banda Aceh sebagai ”pusat”.
Sekalipun aspirasi ini muncul belakangan, namun elemen masyarakat Abas berharap agar peresmian provinsi baru tersebut bisa dilaksanakan berbarengan dengan peresmian pembentukan ALA. Keduanya kemudian membentuk Forum Bersama Komite Pembentukan Provinsi ALA dan Abas. Bertempat di Jakarta, elemen masyarakat ALA dan Abas mendeklarasikan berdirinya kedua provinsi baru itu pada 4 Desember 2005.
Kekhawatiran usul tersebut bakal mentok sempat mencuat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Draf usul DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dianggap tidak mengakomodasi—bahkan terkesan menafikan—pembentukan provinsi baru. Namun, elemen ALA dan Abas menilai ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh tidak menutup aspirasi pembentukan daerah otonom baru di Aceh.
Mengenai komplikasi pemberlakuan otonomi luas untuk Aceh, sebagaimana terjadi dengan Papua lewat pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Tagore menyatakan bahwa hal serupa tidak akan terjadi di Aceh. Kalaupun ALA jadi terbentuk, tidak masalah jika keistimewaan Aceh, seperti dana tambahan, tidak diberikan kepada mereka. Potensi yang dimiliki ALA dengan pengelolaan secara baik diyakini sudah mencukupi untuk membangun wilayah mereka.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Raihan Iskandar (Partai Keadilan Sejahtera) menilai usul pembentukan provinsi ALA (ataupun Abas) tidak perlu diperdebatkan, setelah UU Nomor 11 Tahun 2006 disahkan dan (relatif) bisa diterima semua pihak. Klausul pembentukan provinsi baru (yang bisa diartikan berarti penghapusan kabupaten/kota bersangkutan dari Aceh) sudah termuat dalam undang-undang tersebut.
Kalaupun persetujuan DPRD Aceh yang dipersoalkan, mestinya hal itu bisa diatasi apabila anggota DPRD dari daerah pemilihan yang masuk dalam wilayah ALA dan Abas mengajukan inisiatif pembentukan Panitia Khusus DPRD untuk membahas aspirasi pembentukan provinsi baru itu.
Namun, Raihan juga menyebutkan bahwa soal keistimewaan berikut hak khusus sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 hanya melekat pada Aceh ”induk”. Hal itu mestinya juga dijadikan pertimbangan dalam usul pembentukan provinsi baru tersebut.
”Harus dihitung dulu maslahat dan mudaratnya, jadi bisa dihitung kapan waktu yang tepat untuk bicara,” ujar Raihan.
Sementara menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III), DPR (dan juga pemerintah) tentunya tidak akan menghalangi aspirasi masyarakat untuk membentuk daerah otonom sendiri. Sepanjang seluruh persyaratan administratifnya terpenuhi, aspirasi itu tentu akan diproses ke tahap lebih lanjut.
Akan tetapi, khusus untuk Aceh tentu saja mesti ada pertimbangan khusus. Sejauh mungkin ide pemekaran itu tidak bertabrakan dengan semangat perdamaian yang mulai tercipta. Akan mahal ongkos sosial-politiknya jika sampai wacana pemekaran tersebut justru memecahkan kembali perdamaian yang mulai dirasakan rakyat Aceh.
Namun, Sayuti memahami kendala yang dihadapi warga di wilayah ALA dan Abas dalam hal pelayanan publik. Pelayanan pusat pemerintahan di Banda Aceh terkendala jarak dan kondisi geografis untuk menjangkaunya. Jika soalnya adalah perbaikan pelayanan terhadap masyarakat, terlepas jadi-tidaknya pemekaran itu dilakukan, hal tersebut harus menjadi fokus perhatian seluruh pihak.
Kontradiksi?
Pemekaran bukanlah hal yang sama sekali ditabukan di Aceh. Justru Aceh termasuk daerah yang cepat ”beranak-pinak” dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal itu terlihat dari jumlah kabupaten/kota yang pertambahannya signifikan sejak era reformasi. Sebelum 1999 Aceh hanya terdiri atas 10 kabupaten/kota. Namun, sampai saat ini, jumlahnya meningkat menjadi 21 kabupaten/kota. Terakhir, RUU pembentukan dua calon daerah otonom baru—Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam—sudah akan resmi diajukan sebagai inisiatif DPR untuk dibahas bersama pemerintah.
Salah satu alasan menonjol yang kerap dikemukakan terkait dengan pemekaran itu adalah soal rentang kendali pemerintahan. Wilayah ALA dan Abas kerap dilupakan, tidak ada pembangunan yang optimal dengan wilayah yang terentang dari ujung ke ujung, dengan kondisi geografis perbukitan, jalan darat berkelok-kelok, terasa sulit mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, Takengon bisa dicapai dari Banda Aceh lewat perjalanan darat selama delapan jam. Waktu tempuh yang nyaris sama dibutuhkan dari Banda Aceh ke Meulaboh (Aceh Barat).
”Yang susah, ini karena sudah jauh letaknya, jauh pula di hati,” ujar Tagore.
Harus diakui bahwa pembangunan di lima kabupaten yang tergabung dalam ALA tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Aceh. Singkil, misalnya, lebih menyerupai kota kecamatan dibandingkan kabupaten. Singkil saat ini bahkan terancam tenggelam akibat kondisi daratan yang turun pascagempa Nias tahun lalu. Selain itu, hampir tidak terlihat pembangunan berarti di daerah pedalaman atau pulau luar di Kepulauan Banyak.
Demikian juga dengan Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Kekayaan alamnya tak mampu membuatnya berkembang. Posisinya yang berada di tengah dataran tinggi Gayo susah diakses. Kesulitan transportasi pula yang membuat daerah pedalaman, seperti Pinning dan Trangon, terisolasi. Hal hampir serupa terjadi di Bener Meriah.
Praktis hanya Aceh Tengah dan Aceh Tenggara yang kondisinya lumayan maju. Namun, di daerah pedalaman, seperti Pameung, Aceh Tengah, kondisinya tidak kalah mengenaskan. Kedua daerah ini juga memiliki ketergantungan tinggi dengan daerah tetangga. Aceh Tengah tergantung pada Bireuen dan Aceh Tenggara pada Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Aksi boikot terhadap Aceh Tengah pada saat konflik menyebabkan daerah ini lumpuh.
Saat Kompas melintasi jalanan di Aceh Tengah maupun Bener Meriah pada awal Agustus, poster dan stiker dukungan pembentukan Provinsi ALA begitu mudah dijumpai di rumah penduduk. Spanduk besar dengan nada serupa pun begitu mencolok di pinggiran jalanan. Apakah artinya dukungan begitu meluas?
Apa pun, patut juga disimak tuturan Hj Saimah (70), warga Takengon. Baginya, pemekaran atau bukan adalah urusan pimpinan. Yang terpenting bagi masyarakat adalah adanya jaminan keamanan dan kesempatan lebih luas untuk meraih kesejahteraan.
Jadi, kalau Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimekarkan menjadi tiga, apa jadinya? Lebih maju atau makin berantakan? Siapa yang bisa menduga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar