Tunggu apa Lagi Buruan Cepat

Bisnis Online

Lencana Facebook

Game Online Libertyreserve

HeadTail

Head and Tail WIN

Data ini merupakan data real yang muncul di HeadTail

Tgl Ganjil

Tgl Genap

WIN BET

No

Win

No.

Win

Percent (%)

WIN

51 Tail 56 Tail

90

Tail
31 Tail 15 Head

10

Min BET
29 Tail 14 Tail

90

Tail
45 Head 15 Head

90

Head
45 Head 46 Head

90

Head
53 Tail 42 Head

10

Min BET
39 Tail 55 Tail

90

Tail
50 Head 27 Head

90

Head
55 Tail 57 Head

10

Min BET
01 Tail 58 Head

10

Min BET
29 Tail 57 Head

10

Min BET
10 Tail 04 Tail

90

Tail
22 Tail 30 Head

10

Min BET
45 Head 55 Tail

10

Min BET
40 Tail 21 Head

10

Min BET
45 Head 36 Head

90

Head
46 Head 54 Head

90

Head
17 Tail 38 Head

10

Min BET
02 Head 29 Tail

10

Min BET
48 Tail 24 Head

10

Min BET
32 Head 59 Tail

10

Min BET
23 Tail 01 Tail

90

Tail
22 Tail 27 Head

10

Min BET
36 Head 31 Tail

10

Min BET
24 Head 11 Head

90

Head
36 Head 07 Tail

10

Min BET
59 Tail 59 Tail

100

Tail
26 Tail 57 Head

10

Min BET
11 Tail 03 Head

10

Min BET
19 Head 27 Head

90

Head
23 Tail 57 Head

10

Min BET
59 Tail 00 Head

10

Min BET
14 Tail 34 Head

10

Min BET
03 Tail 30 Head

10

Min BET
56 Tail 25 Tail

90

Tail
40 Tail 48 Tail

90

Tail
16 Tail 42 Head

10

Min BET
48 Tail 52 Tail

90

Tail
24 Head 34 Head

90

Head
33 Tail 57 Head

10

Min BET
21 Head 4 Tail

10

Min BET
16 Tail 49 Tail

90

Tail
18 Head 13 Tail

10

Min BET
07 Tail 02 Head

10

Min BET
22 Tail 58 Head

10

Min BET
43 Tail 13 Tail

10

Tail
09 Head 34 Head

90

Head
01 Tail 48 Tail

90

Tail
01 Tail 22 Tail

90

Tail
46 Head 03 Tail

10

Min BET
02 Head 23 Tail

10

Min BET
25 Tail 38 Head

10

Min BET
10 Tail 56 Tail

90

Tail
42 Head 29 Tail

10

Min BET
06 Head 00 Head

90

Head
36 Head 51 Tail

10

Min BET
08 Tail 18 Head

10

Min BET

Win

Tail

Win

Head

Spl 35 x Spl 31 x
JLH 51,20% Jlh 48,80%
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada tanggal ganjil maka peluang yang paling besar muncul Tail dan pada tanggal genap peluang muncul Head sangat besar, Cara memainkan game ini tidak perlu mendaftar karena game ini jika anda BET dengan benar langsung akan membayar ke Liberty Reserve anda. Cara Memainkan :
  • Anda harus perhatikan di HISTORY nya apa tanggal ganjil atau genap
  • Buka 2 buah lembar dimana yang satu untuk melihat HISTORI dan yang kedua untuk BET
  • Misalkan hari ini adalah tanggal ganjil, HISTORY BET muncul angka 51 maka kemungkinan Muncul berikutnya Tail (record pertama yang direkom oleh Paul Rodrigo dan tidak ada hubungan dengan moneyvestasi)
  • Jika hari ini tanggal ganjil, namun kedua data menampilkan data yang sama, maka pilih data yang berlawanan tanggal.
  • Jangan lupa Refresh halaman HISTORY untuk melihat data UPDATE agar prediksinya tepat
  • Dosa dari permainan ini tanggung sendiri
  • Record tersebut telah dihitung dengan rumus Randomly Agregat selama 7 bulan dengan tingkat keakuratan 95%
  • Moneyvestasi tidak bertanggungjawab terhadap WIN atau LOSE yang anda derita dalam game ini, karena Iklan ini dibayar oleh mereka $1300
  • Jangan BET kalau gak sanggup tahan RESIKO (DISCLAMER)
  • Iklan ini dipasang oleh PAUL RODRIGO asal Mexico

MY Slide

Minggu, 24 Juni 2007

Kartu Pos Kembali Setelah 61 Tahun


Ajaib. Bisa ya, bisa tidak. Tapi itu lah setidaknya yang dialami seorang perempuan tua, Gertrude Fulton, ketika ia mendapatkan kembali sebuah kartu pos, yang dia kirim 61 tahun lalu.

Bulan lalu, ia mengaku telah mendapatkan kembali surat yang dikirimkan buat suaminya, yang tengah bertugas di Florida, saat berlangsungnya Perang Dunia II.

Kepada the Associated Press, Fulton mengaku mengirimkan kartu posnya pada tahun 1945 kepada suaminya, Russell, yang tengah disiapkan untuk berperang di Florida. Tapi, bulan lalu beberapa temannya berhasil menemukan kartu pos di sebuah lokasi penjualan barang-barang antik di Indiana dan mengirimkan buat Fulton, yang kini bermukim di Maryville.

Fulton cukup kaget mendapat kartu pos tersebut, meski diakuinya, jika surat-surat yang dikirimnya itu sudah sampai kepada suaminya. Hanya saja, ia tak habis pikir bagaimana kartu pos itu bisa sampai ke Indiana.

Kalau saja surat itu sampai lebih awal pada bulan Mei, Russell bisa jadi berkesempatan kembali melihat kartu pos itu. Sayangnya, ia telah dipanggil Tuhan pada 18 Mei lalu. Diwartakan AP, pasangan tersebut telah menikah selama 65 tahun.

Mendorong "E-Mail"


E-mail menjadi sebuah fenomena penting yang akhirnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Melalui e-mail, semua urusan kantor dan hal-hal yang perlu segera diselesaikan dalam konteks bisnis dan sejenisnya terselesaikan. E-mail adalah sarana komunikasi modern yang murah dan mudah dijangkau oleh siapa saja di mana saja.

Ketika mobilitas menjadi sebuah elemen penting dalam kehidupan digital, e-mail pun terus bertahan dan menjadi bagian yang benar-benar tidak bisa terpisahkan dari kemajuan teknologi yang ada. Dan Blackberry yang dikembangkan di Kanada, dan mulai dijajakan di Indonesia, menjadi sebuah fenomena penting.

Bahkan, berbagai ponsel pun sudah mulai mencangkokkan Blackberry ke dalamnya sebagai sebuah fitur aplikasi tambahan yang memungkinkan e-mail didorong ke dalam perangkat ponsel atau PDA phone. Keunggulan Blackberry adalah faktor bentuknya yang muat di saku dan teknologi push e-mail yang memungkinkan berbagai macam informasi sampai dan terbaca oleh penerimanya.

Teknologi push e-mail yang memungkinkan pesan-pesan elektronik ini sampai ke perangkat komunikasi yang kita miliki memang mengisyaratkan bahwa e-mail yang dikirim pasti akan sampai tujuan. Namun, sering kali para penggunanya tidak lagi mampu mengatur diri kapan e-mail yang diterimanya ini perlu dibalas atau tidak.

Beban digital? Mungkin saja. Di Indonesia, ada sebuah perusahaan pembuat aplikasi konvergensi yang menggabungkan unsur-unsur teknologi komunikasi informasi memberikan sebuah solusi yang menarik.

Perusahaan dengan nama Adiska (www.adiska.com) ini menghasilkan sebuah solusi yang menarik, tidak hanya ke luar dari "beban digital" tersebut, tetapi juga menawarkan solusi yang lebih murah dibandingkan dengan Blackberry.

Kalau Blackberry mengharuskan penggunanya memakai perangkat yang ditetapkan, solusi yang ditawarkan Adiska dan diberi nama produk Adiska Mobile Messaging ini bisa menggunakan ponsel apa saja yang memiliki fasilitas SMS.

Intinya, e-mail yang ditujukan di-forward ke sistem Adiska ini, dan selanjutnya sebuah SMS dikirimkan ke pengguna ada e-mail di dalam mailbox-nya. Solusi ini menjadi menarik karena bisa memberitahu subyek e-mail yang ditujukan ke kita dan siapa yang mengirimnya.

Pesan SMS yang dikirim lewat sistem Adiska ini yang menjadi penyaring bagi kita untuk menentukan prioritas e-mail yang harus segera dibalas. Sistem Adiska ini memang berbeda dengan Blackberry, tetapi intinya adalah perluasan teknologi push e-mail dan menjadi sebuah alternatif yang murah

Mengintip Peluang Pasar Buku Indonesia di Malaysia


MINAT baca tinggi belum tentu menghasilkan banyak penulis lokal. Kesimpulan inilah yang dapat menggambarkan kondisi perbukuan di Malaysia. Dari seluruh buku yang beredar dan diserap pasar di Malaysia, hanya sepuluh persen saja merupakan buku lokal. Selebihnya buku impor dan terjemahan.

JIKA ditelusuri lebih jauh, dari angka sepuluh persen produk lokal tersebut, bagian terbesar (mencapai 90 persen) merupakan buku-buku jenis panduan atau bacaan untuk sekolah. Dengan demikian, hanya sepersepuluh saja dari buku-buku lokal di sana yang merupakan bacaan umum.

Proporsi demikian tentu saja mengusik para pelaku industri buku di negeri jiran ini. Untuk memenuhi permintaan yang terus-menerus meningkat, beberapa penerbit Malaysia berinisiatif menjalin kerja sama dengan penerbit Indonesia. Pengalaman selama ini, buku-buku yang banyak diminati dari Indonesia berkisar pada buku tentang agama Islam, baik pemikiran, hadis, maupun panduan. Kemudian cerita anak, cerita remaja, resep masakan, hingga buku bacaan umum yang bersifat praktis.

Pembelian buku baik bentuk fisik maupun hak cipta ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, misalnya, menuturkan pernah menjual hak cipta novel Mira W dan Marga T pada dekade itu. Uniknya, hingga kini masih ada judul-judul dari pengarang tersebut yang masih dicetak ulang.

Penerbit buku Islam, seperti Gema Insani Press, juga terbiasa bertransaksi dengan para penerbit Malaysia. Bahkan, sejak tahun 1965 hingga sekarang penerbit ini masih terus mengirimkan buku dengan kontainer ke sebuah penerbit di Malaysia. Melalui sistem beli putus, antara lima dan enam judul per tahun dikirim ke Malaysia. Iwan Setiawan, General Manager Gema Insani, mengungkapkan, buku agama terbitan mereka sangat diminati masyarakat Malaysia meski, menurut Iwan, angka penjualan ke negeri jiran itu tidaklah besar, mengingat di Indonesia buku-buku penerbit itu juga cepat terjual dengan tiras yang tinggi.

Upaya memperluas pasar di Malaysia seperti yang dilakukan beberapa penerbit Indonesia ini tentu mengundang minat para penerbit buku lainnya. Berbagai bentuk kerja sama dengan para penerbit di Malaysia coba dirintis. Pola kerja sama memang pilihan yang banyak diterapkan penerbit Indonesia ketimbang berbisnis langsung. Bentuk kerja sama tersebut juga diakui oleh penerbit Darul Fikir Malaysia yang membeli banyak hak cipta dari Indonesia. Direktur Darul Fikir Mohd Zaki Ahmad, misalnya, mengakui bahwa penerbitnya bekerja sama dengan 12 penerbit dari luar Malaysia yang memiliki fokus terbitan buku keislaman. Dia mengungkapkan bahwa hampir 70 persen dari seluruh terbitannya merupakan karya penulis luar Malaysia.

KURANGNYA penulis Malaysia dalam menulis bacaan umum juga diakui oleh Arif Hakim yang merintis penerbitan dari tahun 2000 berkedudukan di Pahang, Malaysia. Arif mengakui telah membeli sekitar 50 judul buku yang terdiri atas bacaan anak dan buku umum dari salah satu penerbit Indonesia. Seperti diungkapkan oleh Arif, masyarakat Malaysia haus akan buku umum dan cerita anak yang bermutu dengan gaya tulisan yang lebih populer dan tidak terlalu akademis. Oleh karena itu, dia yakin, buku Indonesia akan laris di Malaysia.

Antusiasme Malaysia akan buku Indonesia diakui pula oleh Novel, Presiden Controller Mizan, yang melihat bahwa Malaysia jauh lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya. "Malaysia bersandar pada buku-buku impor. Jadi jika mereka ingin menerbitkan sendiri, mereka membutuhkan naskah dari kita," ujar Novel. Namun, pengalaman Mizan selama ini tidak hanya buku asli penulis Indonesia, buku terjemahan pun di lirik oleh Malaysia. Seperti diakui oleh Novel yang telah lama membangun kerja sama dengan penerbit Eropa, "Malaysia membutuhkan buku terjemahan dari Indonesia karena kita telah memiliki hubungan baik dengan berbagai penerbit Eropa dan negara lainnya".

Hal ini pula diakui oleh Shaharom, pengajar di Universitas MARA yang juga mengamati perkembangan perbukuan di Indonesia, bahwa membeli buku terjemahan asing dari Indonesia jauh lebih murah dan lebih cepat daripada menerjemahkan sendiri. "Buku dalam bahasa Inggris di Malaysia sangat mahal. Jika diterbitkan di Indonesia dan diganti bahasa Indonesia harganya akan murah sekali," ungkapnya.

Melihat peluang yang ada, tampaknya Malaysia merupakan pasar yang sangat potensial bagi Indonesia. Kedekatan bahasa dan budaya merupakan faktor utama yang sudah dimiliki Indonesia. Apalagi Pemerintah Malaysia gencar mempromosikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di berbagai lembaga resmi. Dalam hal ini menjadi sejalan dengan Indonesia yang sudah memiliki bahasa baku yang mudah dimengerti oleh kalangan terpelajar Malaysia. Buku-buku teknik pun sangat menarik minat Malaysia, seperti diungkapkan oleh Hasrom bin Haron, Ketua Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yang sangat menyayangkan sulitnya mendapatkan buku teknik dari Indonesia. "Kami senang sekali jika buku teknik Indonesia masuk ke sini karena mahasiswa kami membutuhkan buku panduan yang bukan bahasa Inggris," ujar pengajar pada UKM tersebut.

Hingga saat ini buku Indonesia masih menarik bagi Malaysia, seperti diakui oleh Mohd Anwar Ridhwan, pengarah Dewan Bahasa Pustaka Malaysia. Buku Indonesia, katanya, sangat menarik dan Indonesia sangat cepat menerjemahkan buku. Ini pun semakin disokong oleh latar belakang historis perbukuan yang erat. Sebagaimana diketahui, ketika awal tahun 1970-an buku sastra Indonesia masuk ke Malaysia, para sastrawan angkatan Pujangga Baru dan Pujangga Lama atau lebih dikenal dengan angkatan Balai Pustaka ikut mewarnai wacana sastra di Malaysia. Sebut saja nama Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer sangat dikenal di Malaysia, bahkan buku mereka menjadi bacaan wajib bagi siswa dalam mata pelajaran sastra. Sayangnya, kini seiring dengan waktu dan generasi pembaca sastra terus berganti, nama para sastrawan tersebut mulai terlupakan.

Potensi mengembangkan pasar di Malaysia yang cukup besar sudah sepantasnya menjadi rujukan bagi para penerbit di negeri ini. Dalam hal ini dibutuhkan peran asosiasi sebagai wadah penerbit Indonesia menjadi duta bagi penerbit Indonesia. Namun sayangnya, sejauh ini potensi demikian belum banyak dimanfaatkan. Pengalaman menunjukkan, para penerbit harus turun sendiri untuk mempelajari pasar, menjalin kerja sama, hingga bertransaksi. Seperti diakui oleh Novel, mereka sebelumnya tidak memiliki informasi sedikit pun tentang pasar buku Malaysia. "Setelah kami bawakan buku- buku kami, mereka (penerbit Malaysia) terkaget-kaget melihatnya. Mereka tidak tahu bahwa ada buku yang menarik bagi mereka karena tidak pernah ada informasinya," ujar Novel.

Memperkenalkan buku Indonesia ke luar negeri tentu saja dibutuhkan promosi yang gencar dari penerbit lokal. Mengikuti kegiatan pameran di luar negeri adalah suatu keharusan. Sebisa mungkin dalam ajang pameran seperti ini penjualan hak cipta sebanyak mungkin menjadi tujuan dibandingkan dengan penjualan buku cetakan. Hal semacam inilah yang tampaknya belum terlihat dari stan Indonesia di Kuala Lumpur International Book Fair. Kesan yang terlihat, baik penataan stan maupun judul buku yang ditampilkan kurang mencerminkan keberadaan buku Indonesia.

POTENSI pasar yang terbuka tidak berarti tanpa persoalan. Persoalan bajak-membajak (cetak rompak) tidak luput selama ini terhadap buku-buku Indonesia, terutama buku agama Islam. Masalah pembajakan ini sudah berlangsung lama, seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Jika persoalan pembajakan buku belum mampu diatasi, maka cetak rompak di Malaysia semakin menekan penerbit Indonesia. Ironisnya, meski pelaku pembajakan tersebut ditangkap, pengadilan tidak dapat memproses hukumnya.

Pengalaman semacam ini pernah terjadi pada penerbit Gema Insani yang pernah menangkap dan membawa pembajak bukunya ke pengadilan. Persoalannya kemudian, pengadilan Malaysia tidak dapat melakukan proses hukum karena Gema Insani tidak memiliki cabang perusahaan yang berkedudukan di Malaysia.

Menyiasati pembajakan tersebut, Gema Insani memilih melakukan kerja sama dengan penerbit Malaysia dalam menjual hak cipta buku-buku mereka. Cara seperti ini cukup jitu, lantaran jika buku tersebut dibajak di Malaysia, maka penerbit yang membeli hak ciptalah yang akan mengajukan tuntutan hukum.

Berbagai upaya menekan pembajakan ini pun sebenarnya kerap dibicarakan, di antaranya muncul ide untuk melindungi buku Indonesia dengan membuat Galeri Indonesia. Wujudnya dengan membentuk semacam perwakilan distributor buku Indonesia di Malaysia yang dikelola bersama penerbit kedua negara tersebut. Sayangnya, pembicaraan yang sudah lama direncanakan itu belum terealisasi.

Menurut Saiful Zen, Bendahara Ikapi, pihak Malaysia tampaknya masih tarik-ulur dengan rencana tersebut. Salah satu persoalannya, buku dianggap komoditas bisnis yang merupakan investasi jangka panjang. Selain itu, belum jelas juga bagaimana perhitungan yang ditanggung jika buku tidak terjual atau lama habisnya.

Bagi beberapa kalangan, sebenarnya hal itu bukanlah halangan karena bisa saja penerbit Indonesia membuat sendiri Galeri Buku Indonesia tanpa perlu berkongsi dengan penerbit Malaysia. Jika saja beberapa penerbit Indonesia mau bersama-sama membangun kerja sama dan memfasilitasi Galeri Indonesia tersebut, maka kendala manajemen penjualan akan teratasi. Inilah tampaknya yang perlu dipikirkan oleh penerbit Indonesia saat ini, agar jangan setengah hati untuk meluaskan pasar buku Indonesia.

Mengintip Peluang Pasar Buku Indonesia di Malaysia

MINAT baca tinggi belum tentu menghasilkan banyak penulis lokal. Kesimpulan inilah yang dapat menggambarkan kondisi perbukuan di Malaysia. Dari seluruh buku yang beredar dan diserap pasar di Malaysia, hanya sepuluh persen saja merupakan buku lokal. Selebihnya buku impor dan terjemahan.

JIKA ditelusuri lebih jauh, dari angka sepuluh persen produk lokal tersebut, bagian terbesar (mencapai 90 persen) merupakan buku-buku jenis panduan atau bacaan untuk sekolah. Dengan demikian, hanya sepersepuluh saja dari buku-buku lokal di sana yang merupakan bacaan umum.

Proporsi demikian tentu saja mengusik para pelaku industri buku di negeri jiran ini. Untuk memenuhi permintaan yang terus-menerus meningkat, beberapa penerbit Malaysia berinisiatif menjalin kerja sama dengan penerbit Indonesia. Pengalaman selama ini, buku-buku yang banyak diminati dari Indonesia berkisar pada buku tentang agama Islam, baik pemikiran, hadis, maupun panduan. Kemudian cerita anak, cerita remaja, resep masakan, hingga buku bacaan umum yang bersifat praktis.

Pembelian buku baik bentuk fisik maupun hak cipta ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1980-an. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, misalnya, menuturkan pernah menjual hak cipta novel Mira W dan Marga T pada dekade itu. Uniknya, hingga kini masih ada judul-judul dari pengarang tersebut yang masih dicetak ulang.

Penerbit buku Islam, seperti Gema Insani Press, juga terbiasa bertransaksi dengan para penerbit Malaysia. Bahkan, sejak tahun 1965 hingga sekarang penerbit ini masih terus mengirimkan buku dengan kontainer ke sebuah penerbit di Malaysia. Melalui sistem beli putus, antara lima dan enam judul per tahun dikirim ke Malaysia. Iwan Setiawan, General Manager Gema Insani, mengungkapkan, buku agama terbitan mereka sangat diminati masyarakat Malaysia meski, menurut Iwan, angka penjualan ke negeri jiran itu tidaklah besar, mengingat di Indonesia buku-buku penerbit itu juga cepat terjual dengan tiras yang tinggi.

Upaya memperluas pasar di Malaysia seperti yang dilakukan beberapa penerbit Indonesia ini tentu mengundang minat para penerbit buku lainnya. Berbagai bentuk kerja sama dengan para penerbit di Malaysia coba dirintis. Pola kerja sama memang pilihan yang banyak diterapkan penerbit Indonesia ketimbang berbisnis langsung. Bentuk kerja sama tersebut juga diakui oleh penerbit Darul Fikir Malaysia yang membeli banyak hak cipta dari Indonesia. Direktur Darul Fikir Mohd Zaki Ahmad, misalnya, mengakui bahwa penerbitnya bekerja sama dengan 12 penerbit dari luar Malaysia yang memiliki fokus terbitan buku keislaman. Dia mengungkapkan bahwa hampir 70 persen dari seluruh terbitannya merupakan karya penulis luar Malaysia.

KURANGNYA penulis Malaysia dalam menulis bacaan umum juga diakui oleh Arif Hakim yang merintis penerbitan dari tahun 2000 berkedudukan di Pahang, Malaysia. Arif mengakui telah membeli sekitar 50 judul buku yang terdiri atas bacaan anak dan buku umum dari salah satu penerbit Indonesia. Seperti diungkapkan oleh Arif, masyarakat Malaysia haus akan buku umum dan cerita anak yang bermutu dengan gaya tulisan yang lebih populer dan tidak terlalu akademis. Oleh karena itu, dia yakin, buku Indonesia akan laris di Malaysia.

Antusiasme Malaysia akan buku Indonesia diakui pula oleh Novel, Presiden Controller Mizan, yang melihat bahwa Malaysia jauh lebih membutuhkan Indonesia daripada sebaliknya. "Malaysia bersandar pada buku-buku impor. Jadi jika mereka ingin menerbitkan sendiri, mereka membutuhkan naskah dari kita," ujar Novel. Namun, pengalaman Mizan selama ini tidak hanya buku asli penulis Indonesia, buku terjemahan pun di lirik oleh Malaysia. Seperti diakui oleh Novel yang telah lama membangun kerja sama dengan penerbit Eropa, "Malaysia membutuhkan buku terjemahan dari Indonesia karena kita telah memiliki hubungan baik dengan berbagai penerbit Eropa dan negara lainnya".

Hal ini pula diakui oleh Shaharom, pengajar di Universitas MARA yang juga mengamati perkembangan perbukuan di Indonesia, bahwa membeli buku terjemahan asing dari Indonesia jauh lebih murah dan lebih cepat daripada menerjemahkan sendiri. "Buku dalam bahasa Inggris di Malaysia sangat mahal. Jika diterbitkan di Indonesia dan diganti bahasa Indonesia harganya akan murah sekali," ungkapnya.

Melihat peluang yang ada, tampaknya Malaysia merupakan pasar yang sangat potensial bagi Indonesia. Kedekatan bahasa dan budaya merupakan faktor utama yang sudah dimiliki Indonesia. Apalagi Pemerintah Malaysia gencar mempromosikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi negara dan bahasa pengantar di berbagai lembaga resmi. Dalam hal ini menjadi sejalan dengan Indonesia yang sudah memiliki bahasa baku yang mudah dimengerti oleh kalangan terpelajar Malaysia. Buku-buku teknik pun sangat menarik minat Malaysia, seperti diungkapkan oleh Hasrom bin Haron, Ketua Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yang sangat menyayangkan sulitnya mendapatkan buku teknik dari Indonesia. "Kami senang sekali jika buku teknik Indonesia masuk ke sini karena mahasiswa kami membutuhkan buku panduan yang bukan bahasa Inggris," ujar pengajar pada UKM tersebut.

Hingga saat ini buku Indonesia masih menarik bagi Malaysia, seperti diakui oleh Mohd Anwar Ridhwan, pengarah Dewan Bahasa Pustaka Malaysia. Buku Indonesia, katanya, sangat menarik dan Indonesia sangat cepat menerjemahkan buku. Ini pun semakin disokong oleh latar belakang historis perbukuan yang erat. Sebagaimana diketahui, ketika awal tahun 1970-an buku sastra Indonesia masuk ke Malaysia, para sastrawan angkatan Pujangga Baru dan Pujangga Lama atau lebih dikenal dengan angkatan Balai Pustaka ikut mewarnai wacana sastra di Malaysia. Sebut saja nama Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, dan Pramoedya Ananta Toer sangat dikenal di Malaysia, bahkan buku mereka menjadi bacaan wajib bagi siswa dalam mata pelajaran sastra. Sayangnya, kini seiring dengan waktu dan generasi pembaca sastra terus berganti, nama para sastrawan tersebut mulai terlupakan.

Potensi mengembangkan pasar di Malaysia yang cukup besar sudah sepantasnya menjadi rujukan bagi para penerbit di negeri ini. Dalam hal ini dibutuhkan peran asosiasi sebagai wadah penerbit Indonesia menjadi duta bagi penerbit Indonesia. Namun sayangnya, sejauh ini potensi demikian belum banyak dimanfaatkan. Pengalaman menunjukkan, para penerbit harus turun sendiri untuk mempelajari pasar, menjalin kerja sama, hingga bertransaksi. Seperti diakui oleh Novel, mereka sebelumnya tidak memiliki informasi sedikit pun tentang pasar buku Malaysia. "Setelah kami bawakan buku- buku kami, mereka (penerbit Malaysia) terkaget-kaget melihatnya. Mereka tidak tahu bahwa ada buku yang menarik bagi mereka karena tidak pernah ada informasinya," ujar Novel.

Memperkenalkan buku Indonesia ke luar negeri tentu saja dibutuhkan promosi yang gencar dari penerbit lokal. Mengikuti kegiatan pameran di luar negeri adalah suatu keharusan. Sebisa mungkin dalam ajang pameran seperti ini penjualan hak cipta sebanyak mungkin menjadi tujuan dibandingkan dengan penjualan buku cetakan. Hal semacam inilah yang tampaknya belum terlihat dari stan Indonesia di Kuala Lumpur International Book Fair. Kesan yang terlihat, baik penataan stan maupun judul buku yang ditampilkan kurang mencerminkan keberadaan buku Indonesia.

POTENSI pasar yang terbuka tidak berarti tanpa persoalan. Persoalan bajak-membajak (cetak rompak) tidak luput selama ini terhadap buku-buku Indonesia, terutama buku agama Islam. Masalah pembajakan ini sudah berlangsung lama, seperti penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Jika persoalan pembajakan buku belum mampu diatasi, maka cetak rompak di Malaysia semakin menekan penerbit Indonesia. Ironisnya, meski pelaku pembajakan tersebut ditangkap, pengadilan tidak dapat memproses hukumnya.

Pengalaman semacam ini pernah terjadi pada penerbit Gema Insani yang pernah menangkap dan membawa pembajak bukunya ke pengadilan. Persoalannya kemudian, pengadilan Malaysia tidak dapat melakukan proses hukum karena Gema Insani tidak memiliki cabang perusahaan yang berkedudukan di Malaysia.

Menyiasati pembajakan tersebut, Gema Insani memilih melakukan kerja sama dengan penerbit Malaysia dalam menjual hak cipta buku-buku mereka. Cara seperti ini cukup jitu, lantaran jika buku tersebut dibajak di Malaysia, maka penerbit yang membeli hak ciptalah yang akan mengajukan tuntutan hukum.

Berbagai upaya menekan pembajakan ini pun sebenarnya kerap dibicarakan, di antaranya muncul ide untuk melindungi buku Indonesia dengan membuat Galeri Indonesia. Wujudnya dengan membentuk semacam perwakilan distributor buku Indonesia di Malaysia yang dikelola bersama penerbit kedua negara tersebut. Sayangnya, pembicaraan yang sudah lama direncanakan itu belum terealisasi.

Menurut Saiful Zen, Bendahara Ikapi, pihak Malaysia tampaknya masih tarik-ulur dengan rencana tersebut. Salah satu persoalannya, buku dianggap komoditas bisnis yang merupakan investasi jangka panjang. Selain itu, belum jelas juga bagaimana perhitungan yang ditanggung jika buku tidak terjual atau lama habisnya.

Bagi beberapa kalangan, sebenarnya hal itu bukanlah halangan karena bisa saja penerbit Indonesia membuat sendiri Galeri Buku Indonesia tanpa perlu berkongsi dengan penerbit Malaysia. Jika saja beberapa penerbit Indonesia mau bersama-sama membangun kerja sama dan memfasilitasi Galeri Indonesia tersebut, maka kendala manajemen penjualan akan teratasi. Inilah tampaknya yang perlu dipikirkan oleh penerbit Indonesia saat ini, agar jangan setengah hati untuk meluaskan pasar buku Indonesia

Perang Dunia II


Perang Dunia II, secara resmi mulai berkecamuk pada tanggal 1 September 1939 sampai tanggal 14 Agustus 1945. Tapi ada yang berpendapat sebenarnya sudah mulai pada tanggal 1 Maret 1937 ketika Jepang menduduki Manchuria. Sampai saat ini, perang ini adalah perang yang paling dahsyat pernah terjadi di muka bumi. Kurang lebih 50.000.000 (limapuluh juta) orang tewas dalam konflik ini.

Secara kasar bisa dikatakan bahwa peperangan mulai pada saat pendudukan Jerman di Polandia pada tanggal 1 September 1939 dan berakhir pada tanggal 14/15 Agustus ketika Jepang menyerah kepada tentara Amerika Serikat, meskipun ada yang berpendapat sebenarnya perang ini sudah lebih awal mulai.

Perang berkecamuk di tiga benua tua: Afrika, Asia dan Eropa. Berikut ialah data pertempuran-pertempuran dan peristiwa penting di setiap benua.

Perang Dunia I

Perang Dunia I (juga dinamakan Perang Dunia Pertama, dan nama dalam bahasa Inggris lainnya: Great War, War of the Nations, dan "War to End All Wars" (Perang untuk Mengakhiri Semua Perang) adalah sebuah konflik dunia yang berlangsung dari 1914 hingga 1918.

Perang ini dimulai setelah Pangeran Ferdinand dari Austro-Hongaria (sekarang Austria) dibunuh anggota kelompok teroris Serbia, Gavrilo Princip di Sarajevo. Tidak pernah terjadi sebelumnya konflik sebesar ini, baik dari jumlah tentara yang dikerahkan dan dilibatkan, maupun jumlah korbannya. Senjata kimia digunakan untuk pertama kalinya, pemboman massal warga sipil dari udara dilakukan, dan banyak dari pembunuhan massal berskala besar pertama abad ini berlangsung saat perang ini. Empat dinasti, Habsburg, Romanov, Ottoman dan Hohenzollern, yang mempunyai akar kekuasaan hingga zaman Perang Salib, seluruhnya jatuh setelah perang.

Perang Dunia I menjadi saat pecahnya orde dunia lama, menandai berakhirnya monarki absolutisme di Eropa. Ia juga menjadi pemicu Revolusi Rusia, yang akan menginspirasi revolusi lainnya di negara lainnya seperti Tiongkok dan Kuba, dan akan menjadi basis bagi Perang Dingin antara Uni Soviet dan AS. Kekalahan Jerman dalam perang ini dan kegagalan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih menggantung yang telah menjadi sebab terjadinya Perang Dunia I akan menjadi dasar kebangkitan Nazi, dan dengan itu pecahnya Perang Dunia II pada 1939. Ia juga menjadi dasar bagi peperangan bentuk baru yang sangat bergantung kepada teknologi, dan akan melibatkan non-militer dalam perang seperti yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Perang Dunia menjadi terkenal dengan peperangan parit perindungannya, di mana sejumlah besar tentara dibatasi geraknya di parit-parit perlindungan dan hanya bisa bergerak sedikit karena pertahana yang ketat. Ini terjadi khususnya terhadap Front Barat. Lebih dari 9 juta jiwa meninggal di medan perang, dan hampir sebanyak itu juga jumlah warga sipil yang meninggal akibat kekurangan makanan, kelaparan, pembunuhan massal, dan terlibat secara tak sengaja dalam suatu pertempuran.