Pascatsunami Aceh telah menjadi kota internasional. Ribuan relawan kemanusiaan, pekerja organisasi nonpemerintah, maupun staf sejumlah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa berdatangan ke Aceh.
Yang dikhawatirkan pun terjadi, nilai yang terbawa dalam internasionalisasi itu berbenturan dengan sendi syariat Islam yang menjadi salah satu keistimewaan ”Serambi Mekkah” ini. Yang datang membawa bantuan dinilai turut membawa pengaruh buruk terhadap masyarakat Aceh.
Salah satu kasus terakhir terjadi akhir Juli lalu, ketika Guesseppe Baluschii (30), warga Italia yang bekerja di salah satu lembaga internasional, ditangkap oleh polisi syariah Islam wilayah Bireuen. Guesseppe kedapatan tengah berhubungan intim dengan War (27), perempuan dari Pidie. Sang perempuan dijerat dengan kanun (peraturan daerah) mengenai syariat Islam, sementara Guesseppe yang non-Muslim tidak. Kalaupun Guesseppe diproses lanjut, itu terjadi karena yang bersangkutan membawa ganja dan untuknya berlaku ketentuan hukum umum. Secara sosiologis, ada yang menilai tidak adil jika pelanggaran yang dilakukan bersama-sama tidak diadili di lembaga peradilan yang sama.
Apa pun, terungkapnya perbuatan mesum itu sontak menimbulkan kehebohan. Khotbah-khotbah Jumat di sejumlah masjid berisi kecaman atas keberadaan Guesseppe yang dituding merusak perempuan Aceh. War, yang pernah belajar di pesantren, mengakui bahwa perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka.
Fenomena itu menunjukkan, pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar kanun syariat Islam secara terbuka di hadapan masyarakat ternyata tidak cukup membuat jera. Bahkan, kasus pemerkosaan juga banyak ditemui di Aceh. Tidak mengherankan jika Syarifah Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan Indonesia menilai syariat Islam di Aceh belum efektif melindungi pemerkosaan yang marak di Aceh akhir-akhir ini. Aktivis perempuan ini khawatir bahwa suatu saat masyarakat tak malu lagi dengan hukuman cambuk sehingga hukuman ini tak memberi efek jera.
”Kita harus berbesar hati, proses penerapan syariat Islam di Aceh harus dikaji ulang,” kata Syarifah.
Usul Syarifah tentu bukan hal yang mudah. Keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya bukan hal yang baru kemarin sore diperjuangkan. Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, perwalian, nafkah, pengasuhan anak, dan harta bersama), mu’amalah (masalah tata cara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan kanun (peraturan daerah).
Keragaman
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain juga dijamin untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Islam memang agama mayoritas di Aceh, tetapi Aceh pun memiliki keragaman agama. Misalnya, di daerah Aceh Tenggara yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara syariat Islam ini sulit diterapkan. Keragaman itu pula yang menjadi dasar perdebatan alot saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh.
Aceh yang beragam, Aceh yang semakin terbuka tentu membawa konsekuensi tersendiri. Pelaksanaan syariat Islam rawan menimbulkan gesekan atau bahkan bakal meminggirkan keragaman. Bisa-bisa akan muncul citra Aceh sebagai daerah tertutup. Stan McGahey, konsultan pariwisata dari USAID untuk pemulihan Aceh, mengatakan, potensi wisata Aceh yang luar biasa, terutama Sabang, bisa menjadi tidak tergarap jika syariat Islam dibenturkan dengan kepariwisataan.
Oleh karena itu, McGahey mengusulkan dibuatnya zona khusus di Sabang. Alternatif lain adalah Aceh harus mengembangkan wisata khusus mengingat adanya syariat Islam. Tsunami bisa menjadi potensi wisata alternatif. Banyak wisatawan yang tertarik untuk melihat bekas tsunami dan melihat proses rekonstruksi. ”Aceh sebaiknya tidak hanya mengembangkan wisata yang mengandalkan Sabang saja,” kata McGahey.
UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat kanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Bahkan khusus untuk pidana (jinayah), sanksi yang diatur dalam kanun boleh berbeda dengan batasan untuk peraturan daerah umum lainnya. Selain itu, ada ketentuan bahwa kanun syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.
Yang juga kerap terlontar di permukaan, kanun syariat Islam belum banyak yang mengatur permasalahan riil yang menyangkut masyarakat banyak. Kanun yang paling ”populer” masih berkutat soal judi, minuman keras, dan khalwat. Permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, seperti korupsi, tidak pernah terjangkau oleh ketentuan syariat. Lumrah jika kemudian sebagian kalangan menilai dengan sebelah mata atas pelaksanaan syariat Islam di Aceh.
Jadi memang masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Penerapan syariat Islam di Aceh dibebani tuntutan untuk benar-benar menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang penerapannya membuahkan kehidupan ekonomi-sosial yang lebih baik. Harus pula terlihat bahwa pemberlakuan syariat Islam bukan hal yang kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya karena kini ”Serambi Mekkah” menjadi tempat yang makin terbuka. (Ahmad Arif/Sidik Pramono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar