Tunggu apa Lagi Buruan Cepat

Bisnis Online

Lencana Facebook

Game Online Libertyreserve

HeadTail

Head and Tail WIN

Data ini merupakan data real yang muncul di HeadTail

Tgl Ganjil

Tgl Genap

WIN BET

No

Win

No.

Win

Percent (%)

WIN

51 Tail 56 Tail

90

Tail
31 Tail 15 Head

10

Min BET
29 Tail 14 Tail

90

Tail
45 Head 15 Head

90

Head
45 Head 46 Head

90

Head
53 Tail 42 Head

10

Min BET
39 Tail 55 Tail

90

Tail
50 Head 27 Head

90

Head
55 Tail 57 Head

10

Min BET
01 Tail 58 Head

10

Min BET
29 Tail 57 Head

10

Min BET
10 Tail 04 Tail

90

Tail
22 Tail 30 Head

10

Min BET
45 Head 55 Tail

10

Min BET
40 Tail 21 Head

10

Min BET
45 Head 36 Head

90

Head
46 Head 54 Head

90

Head
17 Tail 38 Head

10

Min BET
02 Head 29 Tail

10

Min BET
48 Tail 24 Head

10

Min BET
32 Head 59 Tail

10

Min BET
23 Tail 01 Tail

90

Tail
22 Tail 27 Head

10

Min BET
36 Head 31 Tail

10

Min BET
24 Head 11 Head

90

Head
36 Head 07 Tail

10

Min BET
59 Tail 59 Tail

100

Tail
26 Tail 57 Head

10

Min BET
11 Tail 03 Head

10

Min BET
19 Head 27 Head

90

Head
23 Tail 57 Head

10

Min BET
59 Tail 00 Head

10

Min BET
14 Tail 34 Head

10

Min BET
03 Tail 30 Head

10

Min BET
56 Tail 25 Tail

90

Tail
40 Tail 48 Tail

90

Tail
16 Tail 42 Head

10

Min BET
48 Tail 52 Tail

90

Tail
24 Head 34 Head

90

Head
33 Tail 57 Head

10

Min BET
21 Head 4 Tail

10

Min BET
16 Tail 49 Tail

90

Tail
18 Head 13 Tail

10

Min BET
07 Tail 02 Head

10

Min BET
22 Tail 58 Head

10

Min BET
43 Tail 13 Tail

10

Tail
09 Head 34 Head

90

Head
01 Tail 48 Tail

90

Tail
01 Tail 22 Tail

90

Tail
46 Head 03 Tail

10

Min BET
02 Head 23 Tail

10

Min BET
25 Tail 38 Head

10

Min BET
10 Tail 56 Tail

90

Tail
42 Head 29 Tail

10

Min BET
06 Head 00 Head

90

Head
36 Head 51 Tail

10

Min BET
08 Tail 18 Head

10

Min BET

Win

Tail

Win

Head

Spl 35 x Spl 31 x
JLH 51,20% Jlh 48,80%
Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada tanggal ganjil maka peluang yang paling besar muncul Tail dan pada tanggal genap peluang muncul Head sangat besar, Cara memainkan game ini tidak perlu mendaftar karena game ini jika anda BET dengan benar langsung akan membayar ke Liberty Reserve anda. Cara Memainkan :
  • Anda harus perhatikan di HISTORY nya apa tanggal ganjil atau genap
  • Buka 2 buah lembar dimana yang satu untuk melihat HISTORI dan yang kedua untuk BET
  • Misalkan hari ini adalah tanggal ganjil, HISTORY BET muncul angka 51 maka kemungkinan Muncul berikutnya Tail (record pertama yang direkom oleh Paul Rodrigo dan tidak ada hubungan dengan moneyvestasi)
  • Jika hari ini tanggal ganjil, namun kedua data menampilkan data yang sama, maka pilih data yang berlawanan tanggal.
  • Jangan lupa Refresh halaman HISTORY untuk melihat data UPDATE agar prediksinya tepat
  • Dosa dari permainan ini tanggung sendiri
  • Record tersebut telah dihitung dengan rumus Randomly Agregat selama 7 bulan dengan tingkat keakuratan 95%
  • Moneyvestasi tidak bertanggungjawab terhadap WIN atau LOSE yang anda derita dalam game ini, karena Iklan ini dibayar oleh mereka $1300
  • Jangan BET kalau gak sanggup tahan RESIKO (DISCLAMER)
  • Iklan ini dipasang oleh PAUL RODRIGO asal Mexico

MY Slide

Senin, 20 Agustus 2007

Syariat Ketat di Serambi yang Terbuka?

Pascatsunami Aceh telah menjadi kota internasional. Ribuan relawan kemanusiaan, pekerja organisasi nonpemerintah, maupun staf sejumlah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa berdatangan ke Aceh.

Yang dikhawatirkan pun terjadi, nilai yang terbawa dalam internasionalisasi itu berbenturan dengan sendi syariat Islam yang menjadi salah satu keistimewaan ”Serambi Mekkah” ini. Yang datang membawa bantuan dinilai turut membawa pengaruh buruk terhadap masyarakat Aceh.

Salah satu kasus terakhir terjadi akhir Juli lalu, ketika Guesseppe Baluschii (30), warga Italia yang bekerja di salah satu lembaga internasional, ditangkap oleh polisi syariah Islam wilayah Bireuen. Guesseppe kedapatan tengah berhubungan intim dengan War (27), perempuan dari Pidie. Sang perempuan dijerat dengan kanun (peraturan daerah) mengenai syariat Islam, sementara Guesseppe yang non-Muslim tidak. Kalaupun Guesseppe diproses lanjut, itu terjadi karena yang bersangkutan membawa ganja dan untuknya berlaku ketentuan hukum umum. Secara sosiologis, ada yang menilai tidak adil jika pelanggaran yang dilakukan bersama-sama tidak diadili di lembaga peradilan yang sama.

Apa pun, terungkapnya perbuatan mesum itu sontak menimbulkan kehebohan. Khotbah-khotbah Jumat di sejumlah masjid berisi kecaman atas keberadaan Guesseppe yang dituding merusak perempuan Aceh. War, yang pernah belajar di pesantren, mengakui bahwa perbuatan itu dilakukan berdasarkan suka sama suka.

Fenomena itu menunjukkan, pelaksanaan hukuman cambuk bagi pelanggar kanun syariat Islam secara terbuka di hadapan masyarakat ternyata tidak cukup membuat jera. Bahkan, kasus pemerkosaan juga banyak ditemui di Aceh. Tidak mengherankan jika Syarifah Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan Indonesia menilai syariat Islam di Aceh belum efektif melindungi pemerkosaan yang marak di Aceh akhir-akhir ini. Aktivis perempuan ini khawatir bahwa suatu saat masyarakat tak malu lagi dengan hukuman cambuk sehingga hukuman ini tak memberi efek jera.

”Kita harus berbesar hati, proses penerapan syariat Islam di Aceh harus dikaji ulang,” kata Syarifah.

Usul Syarifah tentu bukan hal yang mudah. Keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya bukan hal yang baru kemarin sore diperjuangkan. Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 mengenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, kewarisan, perwalian, nafkah, pengasuhan anak, dan harta bersama), mu’amalah (masalah tata cara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan kanun (peraturan daerah).

Keragaman

Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain juga dijamin untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Islam memang agama mayoritas di Aceh, tetapi Aceh pun memiliki keragaman agama. Misalnya, di daerah Aceh Tenggara yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara syariat Islam ini sulit diterapkan. Keragaman itu pula yang menjadi dasar perdebatan alot saat pembahasan RUU Pemerintahan Aceh.

Aceh yang beragam, Aceh yang semakin terbuka tentu membawa konsekuensi tersendiri. Pelaksanaan syariat Islam rawan menimbulkan gesekan atau bahkan bakal meminggirkan keragaman. Bisa-bisa akan muncul citra Aceh sebagai daerah tertutup. Stan McGahey, konsultan pariwisata dari USAID untuk pemulihan Aceh, mengatakan, potensi wisata Aceh yang luar biasa, terutama Sabang, bisa menjadi tidak tergarap jika syariat Islam dibenturkan dengan kepariwisataan.

Oleh karena itu, McGahey mengusulkan dibuatnya zona khusus di Sabang. Alternatif lain adalah Aceh harus mengembangkan wisata khusus mengingat adanya syariat Islam. Tsunami bisa menjadi potensi wisata alternatif. Banyak wisatawan yang tertarik untuk melihat bekas tsunami dan melihat proses rekonstruksi. ”Aceh sebaiknya tidak hanya mengembangkan wisata yang mengandalkan Sabang saja,” kata McGahey.

UU No 11 Tahun 2006 memberikan keleluasaan kepada Aceh untuk membuat kanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. Bahkan khusus untuk pidana (jinayah), sanksi yang diatur dalam kanun boleh berbeda dengan batasan untuk peraturan daerah umum lainnya. Selain itu, ada ketentuan bahwa kanun syariat Islam hanya dapat dibatalkan melalui uji materi oleh Mahkamah Agung.

Yang juga kerap terlontar di permukaan, kanun syariat Islam belum banyak yang mengatur permasalahan riil yang menyangkut masyarakat banyak. Kanun yang paling ”populer” masih berkutat soal judi, minuman keras, dan khalwat. Permasalahan riil yang dihadapi masyarakat, seperti korupsi, tidak pernah terjangkau oleh ketentuan syariat. Lumrah jika kemudian sebagian kalangan menilai dengan sebelah mata atas pelaksanaan syariat Islam di Aceh.

Jadi memang masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Penerapan syariat Islam di Aceh dibebani tuntutan untuk benar-benar menerjemahkan Islam sebagai rahmatan lil alamin yang penerapannya membuahkan kehidupan ekonomi-sosial yang lebih baik. Harus pula terlihat bahwa pemberlakuan syariat Islam bukan hal yang kontraproduktif bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya karena kini ”Serambi Mekkah” menjadi tempat yang makin terbuka. (Ahmad Arif/Sidik Pramono)

Aceh Baru yang Ditunggu

"Merdeka itu, ya, kalau harga kopi satu bambu sudah di atas Rp 5.000." Ucapan itu spontan terlontar dari Ibnu Hajar (56), warga Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam.

Bapak delapan anak berperawakan pendek berkulit kelam dengan jambang yang dibiarkan tumbuh tidak beraturan itu mengucapkannya dengan ringan sembari terkekeh.

Bumi ujung utara Sumatera itu memang daerah penuh pergolakan. Pada masa penjajahan, rakyat Aceh mesti berhadapan dengan bangsa asing yang ingin berkuasa di bumi Serambi Mekkah. Merdeka bersama Indonesia, babakan baru dari presiden ke presiden, persoalan Aceh datang silih berganti.

Pada periode awal, rakyat Aceh memberontak menuntut otonomi dengan pembentukan Provinsi Aceh. Persoalan ketidakadilan menjadi pemicu bagi Hasan Tiro tatkala memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. Selanjutnya adalah babakan panjang penuh cerita berdarah. Operasi militer dan pemberlakuan keadaan darurat membekap rakyat Aceh dalam ketidaknyamanan. Sejumlah perundingan dan kesepakatan rusak sebelum sampai pada perdamaian hakiki. Konflik terus berlanjut, nyaris seperti tidak berkesudahan.

Sampailah kemudian bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh. Kebutuhan untuk bangkit merehabilitasi dan merekonstruksi diri tidak mungkin berjalan tanpa ada perdamaian. Dalam rentang Januari-Juli 2005 dilakukan pertemuan antara wakil Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia. Puncaknya, pada 15 Agustus 2005, Hamid Awaludin (wakil pemerintah) dan Malik Mahmud (GAM) menandatangani naskah nota kesepahaman.

Waktu berjalan, satu demi satu klausul dalam nota kesepahaman dijalankan. Senjata pasukan GAM dimusnahkan, berlanjut dengan penarikan pasukan TNI/Polri nonorganik dari Aceh. Agenda berikutnya yang sudah terselesaikan adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Sekalipun masih ada yang memperdebatkan, keluasan kewenangan dan porsi pembagian keuangan lebih besar untuk Aceh sudah termuat dalam undang-undang itu. Aceh kini punya payung hukum untuk lebih memajukan diri.

Selasa nanti, 15 Agustus 2006, genap setahun usia Nota Kesepahaman Helsinki yang menjadi tonggak perdamaian di Aceh. Sejumlah acara untuk memperingatinya sudah disiapkan. Di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, mulai 7 Agustus silam digelar pekan seni dan budaya. Pada 15 Agustus nanti panggung pergelaran seni "Aneuk Nanggroe" sudah disiapkan di bibir pantai Ulee Lheue, antara lain untuk menampung penampilan 400 penari.

Pada peringatan Setahun Damai Aceh juga akan dilakukan upacara adat peseujeuk (tepung tawar) sebagai bentuk penghargaan terhadap tokoh kunci perdamaian Aceh, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden Finlandia yang kini Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative (CMI) Martti Ahtisaari, dan unsur pimpinan GAM Malik Mahmud.

Pelajaran dari Aceh menginspirasikan banyak hal kepada Indonesia secara keseluruhan. Kini, ketika perdamaian mulai terasakan, ada pengharapan yang menghadapi masa ujian. Dalam bahasa sederhana rakyat biasa, "merdeka" itu mesti lebih sejahtera.

Setahun terakhir menjadi saat harapan ditumbuhkan. Ke depan, Aceh Baru masih harus ditunggu....

Jika Aceh Menjadi Tiga

Jika Aceh Menjadi Tiga

oleh Sidik Pramono dan Ahmad Arif

Ketua DPRD Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Tagore Abubakar terlihat gusar.

Kepada wakil elemen mahasiswa Arbie Misra, Tagore mengingatkan rekomendasi pemboikotan pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang disampaikan elemen mahasiswa Aceh Leuser Antara adalah hal yang riskan dan bisa-bisa kontraproduktif terhadap niatan memekarkan diri.

Dalam penyampaian rekomendasi hasil Silaturahmi dan Temu Akbar Masyarakat Aceh Leuser Antara (ALA) se-Indonesia pada Minggu (6/8) sore, selain mendesak percepatan pengesahan RUU Pembentukan ALA, elemen mahasiswa juga menyerukan boikot atas pelaksanaan pilkada Aceh.

Mahasiswa merekomendasikan adanya mogok kerja struktural birokrasi pemerintahan di lima kabupaten ALA secara serentak. Langkah itu merupakan bentuk pembangkangan sipil atas pengabaian aspirasi masyarakat ALA untuk membentuk provinsinya sendiri. Pertemuan raya di Gedung Olah Seni Takengon, ibu kota Kabupaten Aceh Tengah, sepanjang 4-6 Agustus lalu itu memang hanya merupakan penegasan atas keinginan untuk memperjuangkan pembentukan Provinsi ALA.

Usul lama

Aspirasi pembentukan Provinsi ALA sebenarnya sudah mulai muncul pada 1999 dan telah menjadi RUU inisiatif DPR pada 28 September 2004. Namun, proses berikutnya mentok, salah satunya karena belum terpenuhinya syarat administratif berupa surat usulan Gubernur dan persetujuan DPRD Aceh. Padahal sejumlah syarat penting sudah terpenuhi— termasuk di antaranya surat keputusan persetujuan dari DPRD kabupaten dan usulan dari bupati di wilayah calon provinsi baru itu.

Ketika persoalan ALA belum tuntas, muncul kemudian aspirasi dari elemen masyarakat Aceh untuk membentuk Provinsi Aceh Barat Selatan (Abas) terpisah dari Aceh. Yang berencana tergabung dalam provinsi baru ini ada enam kabupaten, yaitu Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeuleu, Aceh Barat Daya, Aceh Jaya, dan Nagan Raya. Alasan yang diusung nyaris sama, wilayah mereka lebih kerap dilupakan oleh Banda Aceh sebagai ”pusat”.

Sekalipun aspirasi ini muncul belakangan, namun elemen masyarakat Abas berharap agar peresmian provinsi baru tersebut bisa dilaksanakan berbarengan dengan peresmian pembentukan ALA. Keduanya kemudian membentuk Forum Bersama Komite Pembentukan Provinsi ALA dan Abas. Bertempat di Jakarta, elemen masyarakat ALA dan Abas mendeklarasikan berdirinya kedua provinsi baru itu pada 4 Desember 2005.

Kekhawatiran usul tersebut bakal mentok sempat mencuat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Draf usul DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dianggap tidak mengakomodasi—bahkan terkesan menafikan—pembentukan provinsi baru. Namun, elemen ALA dan Abas menilai ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh tidak menutup aspirasi pembentukan daerah otonom baru di Aceh.

Mengenai komplikasi pemberlakuan otonomi luas untuk Aceh, sebagaimana terjadi dengan Papua lewat pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat, Tagore menyatakan bahwa hal serupa tidak akan terjadi di Aceh. Kalaupun ALA jadi terbentuk, tidak masalah jika keistimewaan Aceh, seperti dana tambahan, tidak diberikan kepada mereka. Potensi yang dimiliki ALA dengan pengelolaan secara baik diyakini sudah mencukupi untuk membangun wilayah mereka.

Wakil Ketua DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Raihan Iskandar (Partai Keadilan Sejahtera) menilai usul pembentukan provinsi ALA (ataupun Abas) tidak perlu diperdebatkan, setelah UU Nomor 11 Tahun 2006 disahkan dan (relatif) bisa diterima semua pihak. Klausul pembentukan provinsi baru (yang bisa diartikan berarti penghapusan kabupaten/kota bersangkutan dari Aceh) sudah termuat dalam undang-undang tersebut.

Kalaupun persetujuan DPRD Aceh yang dipersoalkan, mestinya hal itu bisa diatasi apabila anggota DPRD dari daerah pemilihan yang masuk dalam wilayah ALA dan Abas mengajukan inisiatif pembentukan Panitia Khusus DPRD untuk membahas aspirasi pembentukan provinsi baru itu.

Namun, Raihan juga menyebutkan bahwa soal keistimewaan berikut hak khusus sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 hanya melekat pada Aceh ”induk”. Hal itu mestinya juga dijadikan pertimbangan dalam usul pembentukan provinsi baru tersebut.

”Harus dihitung dulu maslahat dan mudaratnya, jadi bisa dihitung kapan waktu yang tepat untuk bicara,” ujar Raihan.

Sementara menurut Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyathri (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Barat III), DPR (dan juga pemerintah) tentunya tidak akan menghalangi aspirasi masyarakat untuk membentuk daerah otonom sendiri. Sepanjang seluruh persyaratan administratifnya terpenuhi, aspirasi itu tentu akan diproses ke tahap lebih lanjut.

Akan tetapi, khusus untuk Aceh tentu saja mesti ada pertimbangan khusus. Sejauh mungkin ide pemekaran itu tidak bertabrakan dengan semangat perdamaian yang mulai tercipta. Akan mahal ongkos sosial-politiknya jika sampai wacana pemekaran tersebut justru memecahkan kembali perdamaian yang mulai dirasakan rakyat Aceh.

Namun, Sayuti memahami kendala yang dihadapi warga di wilayah ALA dan Abas dalam hal pelayanan publik. Pelayanan pusat pemerintahan di Banda Aceh terkendala jarak dan kondisi geografis untuk menjangkaunya. Jika soalnya adalah perbaikan pelayanan terhadap masyarakat, terlepas jadi-tidaknya pemekaran itu dilakukan, hal tersebut harus menjadi fokus perhatian seluruh pihak.

Kontradiksi?

Pemekaran bukanlah hal yang sama sekali ditabukan di Aceh. Justru Aceh termasuk daerah yang cepat ”beranak-pinak” dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal itu terlihat dari jumlah kabupaten/kota yang pertambahannya signifikan sejak era reformasi. Sebelum 1999 Aceh hanya terdiri atas 10 kabupaten/kota. Namun, sampai saat ini, jumlahnya meningkat menjadi 21 kabupaten/kota. Terakhir, RUU pembentukan dua calon daerah otonom baru—Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Subulussalam—sudah akan resmi diajukan sebagai inisiatif DPR untuk dibahas bersama pemerintah.

Salah satu alasan menonjol yang kerap dikemukakan terkait dengan pemekaran itu adalah soal rentang kendali pemerintahan. Wilayah ALA dan Abas kerap dilupakan, tidak ada pembangunan yang optimal dengan wilayah yang terentang dari ujung ke ujung, dengan kondisi geografis perbukitan, jalan darat berkelok-kelok, terasa sulit mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Misalnya, Takengon bisa dicapai dari Banda Aceh lewat perjalanan darat selama delapan jam. Waktu tempuh yang nyaris sama dibutuhkan dari Banda Aceh ke Meulaboh (Aceh Barat).

”Yang susah, ini karena sudah jauh letaknya, jauh pula di hati,” ujar Tagore.

Harus diakui bahwa pembangunan di lima kabupaten yang tergabung dalam ALA tertinggal dibandingkan dengan daerah lain di Aceh. Singkil, misalnya, lebih menyerupai kota kecamatan dibandingkan kabupaten. Singkil saat ini bahkan terancam tenggelam akibat kondisi daratan yang turun pascagempa Nias tahun lalu. Selain itu, hampir tidak terlihat pembangunan berarti di daerah pedalaman atau pulau luar di Kepulauan Banyak.

Demikian juga dengan Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues. Kekayaan alamnya tak mampu membuatnya berkembang. Posisinya yang berada di tengah dataran tinggi Gayo susah diakses. Kesulitan transportasi pula yang membuat daerah pedalaman, seperti Pinning dan Trangon, terisolasi. Hal hampir serupa terjadi di Bener Meriah.

Praktis hanya Aceh Tengah dan Aceh Tenggara yang kondisinya lumayan maju. Namun, di daerah pedalaman, seperti Pameung, Aceh Tengah, kondisinya tidak kalah mengenaskan. Kedua daerah ini juga memiliki ketergantungan tinggi dengan daerah tetangga. Aceh Tengah tergantung pada Bireuen dan Aceh Tenggara pada Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Aksi boikot terhadap Aceh Tengah pada saat konflik menyebabkan daerah ini lumpuh.

Saat Kompas melintasi jalanan di Aceh Tengah maupun Bener Meriah pada awal Agustus, poster dan stiker dukungan pembentukan Provinsi ALA begitu mudah dijumpai di rumah penduduk. Spanduk besar dengan nada serupa pun begitu mencolok di pinggiran jalanan. Apakah artinya dukungan begitu meluas?

Apa pun, patut juga disimak tuturan Hj Saimah (70), warga Takengon. Baginya, pemekaran atau bukan adalah urusan pimpinan. Yang terpenting bagi masyarakat adalah adanya jaminan keamanan dan kesempatan lebih luas untuk meraih kesejahteraan.

Jadi, kalau Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dimekarkan menjadi tiga, apa jadinya? Lebih maju atau makin berantakan? Siapa yang bisa menduga?