"Merdeka itu, ya, kalau harga kopi satu bambu sudah di atas Rp 5.000." Ucapan itu spontan terlontar dari Ibnu Hajar (56), warga Kecamatan Permata, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam.
Bapak delapan anak berperawakan pendek berkulit kelam dengan jambang yang dibiarkan tumbuh tidak beraturan itu mengucapkannya dengan ringan sembari terkekeh.
Bumi ujung utara Sumatera itu memang daerah penuh pergolakan. Pada masa penjajahan, rakyat Aceh mesti berhadapan dengan bangsa asing yang ingin berkuasa di bumi Serambi Mekkah. Merdeka bersama Indonesia, babakan baru dari presiden ke presiden, persoalan Aceh datang silih berganti.
Pada periode awal, rakyat Aceh memberontak menuntut otonomi dengan pembentukan Provinsi Aceh. Persoalan ketidakadilan menjadi pemicu bagi Hasan Tiro tatkala memproklamasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 4 Desember 1976. Selanjutnya adalah babakan panjang penuh cerita berdarah. Operasi militer dan pemberlakuan keadaan darurat membekap rakyat Aceh dalam ketidaknyamanan. Sejumlah perundingan dan kesepakatan rusak sebelum sampai pada perdamaian hakiki. Konflik terus berlanjut, nyaris seperti tidak berkesudahan.
Sampailah kemudian bencana gempa dan tsunami meluluhlantakkan Aceh. Kebutuhan untuk bangkit merehabilitasi dan merekonstruksi diri tidak mungkin berjalan tanpa ada perdamaian. Dalam rentang Januari-Juli 2005 dilakukan pertemuan antara wakil Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki, Finlandia. Puncaknya, pada 15 Agustus 2005, Hamid Awaludin (wakil pemerintah) dan Malik Mahmud (GAM) menandatangani naskah nota kesepahaman.
Waktu berjalan, satu demi satu klausul dalam nota kesepahaman dijalankan. Senjata pasukan GAM dimusnahkan, berlanjut dengan penarikan pasukan TNI/Polri nonorganik dari Aceh. Agenda berikutnya yang sudah terselesaikan adalah pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh. Sekalipun masih ada yang memperdebatkan, keluasan kewenangan dan porsi pembagian keuangan lebih besar untuk Aceh sudah termuat dalam undang-undang itu. Aceh kini punya payung hukum untuk lebih memajukan diri.
Selasa nanti, 15 Agustus 2006, genap setahun usia Nota Kesepahaman Helsinki yang menjadi tonggak perdamaian di Aceh. Sejumlah acara untuk memperingatinya sudah disiapkan. Di lapangan Blang Padang, Banda Aceh, mulai 7 Agustus silam digelar pekan seni dan budaya. Pada 15 Agustus nanti panggung pergelaran seni "Aneuk Nanggroe" sudah disiapkan di bibir pantai Ulee Lheue, antara lain untuk menampung penampilan 400 penari.
Pada peringatan Setahun Damai Aceh juga akan dilakukan upacara adat peseujeuk (tepung tawar) sebagai bentuk penghargaan terhadap tokoh kunci perdamaian Aceh, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Presiden Finlandia yang kini Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative (CMI) Martti Ahtisaari, dan unsur pimpinan GAM Malik Mahmud.
Pelajaran dari Aceh menginspirasikan banyak hal kepada Indonesia secara keseluruhan. Kini, ketika perdamaian mulai terasakan, ada pengharapan yang menghadapi masa ujian. Dalam bahasa sederhana rakyat biasa, "merdeka" itu mesti lebih sejahtera.
Setahun terakhir menjadi saat harapan ditumbuhkan. Ke depan, Aceh Baru masih harus ditunggu....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar